Rabu, April 28, 2010

URUN REMBUK UJIAN NASIONAL

Pengumuman hasil UN 2010 SMA 2010 telah dilakukan dengan beraneka hasil, reaksi dan dampak, baik bagi sekolah, murid maupun masyarakat. Ujian Nasional dilakukan untuk mengukur/melakukan pemetaan proses pendidikan yang telah dilakukan oleh pihak penyelenggara pendidikan, namun yang mengherankan UN justru menjadi faktor penentu bagi kelulusan siswa.
Secara pribadi , saya memandang bahwa Ujian Nasional itu memang perlu dilaksanakan untuk mengetahui hasil dari proses pendidikan sehingga dapat diketahui peta tingkat keberhasilan proses pendidikan. Pada daerah daerah tertentu yang ternyata dari hasil UN mencapai angka ketidak lulusan tinggi, maka perlu untuk melakukan kajian ilmiah sehingga hasil pendidikan tahun tahun berikutnya dapat mencapai hasil yang lebih baik. Tetapi, kalau hasil UN dijadikan faktor penentu kelulusan siswa, secara pribadi saya kurang setuju, karena sekolah sekolah di Indonesia belum memiliki sarana dan prasarana yang sama, kualitas tenaga pendidik yang masih beragam, kualitas peserta didik yang beragam. Kalau UN tetap dilaksanakan sebagai penentu kelulusan maka akibatnya banyak sekolah yang akan akan terkena imbas dari pelaksanaan UN tersebut.
Pemerintah , segenap pelaku pendidikan perlu untuk mencari suatu solusi dilematik pelaksanaan Ujian Nasional. Secara psykologis bagi siswa yang tidak lulus ( walau tidak semua ) tidak siap menerima kenyataan bila dirinya tidak lulus. Upaya untuk mempersiapkan mental siswa yang kuat dan stabil untuk menerima segala konsekuensi dari hasil pendidikan yang telah diterima.
Peningkata kualitas pendidik perlu untuk lebih dioptimalkan, baik melalui kegiatan MGMP, workshop, dan kepelatihan yang lain.
Peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan , misalnya buku, Lembar Kerja Siswa, kelengkapan lab, kemudahan akses internet pendidikan, dan sebagainya.
Peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas Latihan Ujian Nasional, sehingga siswa lebih siap untuk mengenal karakter dan jenis soal disamping materi pelajaran yang bersangkutan.
Dikembangkan suatu doktrin, konsep bahwa tidaklulus UN bukan berarti akhir dari proses pendidikan, masih banyak waktu untuk memperbaiki.
Hasil UN jangan digunakan untuk penentu kelulusan, gunakan sebagai pengukur peta pendidikan.
Sebaiknya kelulusan ditentukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan / ( guru dan sekolah ybs ) karena merekalah yang mengetahui secara persis kualitas dan karakter siswa.

Mohon maaf bila urun rembuk ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Uang Kertas Indonesia

Bagi rekan rekan yag ingin mengetahui uang kertas Indosea Jaman ORI hingga sekarang silakan kun jungi situs ini :

http://hermawayne.blogspot.com/2009/07/uang-kertas-indonesia-keluaran-tahun.html

Rabu, April 21, 2010

LEMBAGA DAN KELOMPOK SOSIAL (Social Institutions)

A. LEMBAGA SOSIAL
1. PENGERTIAN
Lembaga Sosial sebenarnya berasal dari bahasa inggris yaitu Social institutions
Pertanyaan: Apakah istiLah lembaga sama dengan badan/institusi(yang berasal dari bahasa inggris tsb?
Ada perbedaan istilah:
Lembaga: Sistem norma atau aturan2 mengenai aktivitas masyarakat yang khusus
Institusi/badan: kelompok orang yang terorganisasi dan bertugas melaksanakan aktivitas di dalamnya
Definisi menurut tokoh:…
Prof. Dr. Koentjaraningrat: “Lembaga sosial merupakan satuan norma khusus yang menata serangkaian tindakan yangberpola untuk keperluan khusus manusia dalamkehidupan bermasyarakat”
Bruce J. Cohen: “Lembaga sosial merupakan sistem pola sosial yang tersusun rapi dan secara relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan manusia
Hal2 penting yang dapat disimpulkan, adalah:..
Bahwa pengertian Lembaga Sosial:
Berkaitan dengan kebutuha pokok manusia dalam kehidupan bermasyarakat
Organisasi yang relatif permanen/tetap
Organisasi yang tersusun atau terstruktur
Merupakan cara bertindak yang mengikat
2. Ciri-Ciri Lembaga Sosial
Menurut Gillin and Gillin:
Merupakan organisasi pola pemikiran dan pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasilnya terdiri atas: adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan yang tergabung ke dalam satu unit yang fungsional
Mempunyai tingkat kekekalan tertentu
Mempunyai satu atau beberapa tujuan
Mempunyai alat2 perlengkapan yang dipergunakan mencapai tujuan
e. Memiliki lambangtertentu secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsinya
f. Mempunyai tradisi tertulis ataupun yang tidak tertulis yangmerupakan dasar bagi pranata yangbersangkutan dalam menjalankan fungsinya
3. Tipe-Tipe Lembaga Sosial
Menurut Gillin and Gillin ada beberapa tipe lembaga dilihat dari berbagai sudut pandang:
Dilihat dari perkembangannya:
1. Cresive Institution: lembaga paling primer merupakan lembaga sosial yang tidak sengaja dibentuk dan tumbuh dari adat istiadat masyarakat. Contoh: pranata perkawinan, pranata hak milik dan pranata agam
2. Enacted Institution:lembaga Sosial yang sengaja dibentuk untukmencapai tujuan tertentu. Contoh: Lembaga pendidikan, lembaga ekonomi
b. Dilihat dari sistem nilai yang diterima masyarakat:
1. Basic Institution: “Lembaga sosial yang penting untuk memelihara dan mempertahankan tatatertib dalam masyarakat. Contoh: Keluarga, sekolah dan negara
2. Subsidiary Institution: “Lembaga sosial yang berkaitan dengan hal2 yang dipandang masyarakat kurang penting” Contoh: kegiatan rekreasi dan hiburan
c. Dilihat dari penerimaan masyarakat:..
1. Approved/Sanctioned Institution: “Lembaga sosial yang diterima oleh Masyarakat” Contoh: Sekolah dan perusahaan dagang
2. Unsanctioned Institution: “Lembaga sosial yang ditolak oleh masyarakat, meskipun masyarakat tidak bisa memberantasnya. Contoh: kelompok preman, geng, kelompok pengemis, kelompok mafia
d. Dari faktor penyebarannya:
1. General Institution: “Lembaga yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia”. Contoh: Agama
2. Restrcted Institution: “Lembaga sosial yang dikenal oleh masyarakat tertentu saja. Contoh: agama Islam, kristen, katolik, Hindu, Budha dll
e. Dilihat dari fungsinya:
1. Operative Institution: “Lembaga sosial yang berfungsi menghimpun pola2/tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan dari masyarakat yang bersangkutan
contoh: lembaga industri
2. Regulative institutions: “ lembaga Sosial yang bertujuan mengawasi adat-istiadat atau tata kelakuan yang ada dalam masyarakat. Contoh: lembaga hukum seperti: kejaksaan, pengadilan, kepolisian, dan LBH
4. Bentuk dan lembaga/Pranata Sosial
Pranata Keluarga: “ Merupakan pranata sosial dasar dari semua pranata sosial lainnya yang berkembang di masyarakat”
Fungsi pranata keluarga:..
1. Fungsi reproduksi
2. Fungsi afeksi
3. Fungsi penentuan status
4. Fungsi Sosialisasi
5. Fungsi ekonomis
6. Fungsi perlindungan
7. Fungsi Pengawasan Sosial
b. Pranata agama, fungsinya:..
1. Sumber pedoman hidup manusia
2. Pengatur cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia dan lingkungan
3. Sebagai tuntunan mengenai prinsip benar dan salah
4. Pedoman pengungkapan perasaan kebersamaan
5. Pedoman perasaan keyakinan
6. Pedoman keberadaan manusia
d. Pranata politik
“Pranata yang memiliki kegiatan dalam suatu sistem negara yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuannegara”
Fungsinya:…
1. Memelihara ketertiban dalam masyarakat
2. Bertindak sebagai pemaksa hukum
3. Dengan lat2 yang dimiliki berusaha mempertahankan negara dari ancaman negara luar
4. Mengusahakan kesejahteraan umum
5. Mengatur proses persaingan mencapai kekuasaan
6. Membuat perundang2an dan melaksanakan undang2 yang telah disyahkan
B. KELOMPOK SOSIAL
PENGERTIAN:
“Kelompok sosial berkaitan erat dengan lembaga sosial, kelompok sosial merupakan perwujudan dari lembaga sosial.
Contoh: hukum merupakan lembaga/pranata sosial, sedangkan pengadilan negeri batam adalah kelompok sosial
Persyaratan kelompok sosial:
Soerjono Soekanto, memberikan persyaratan agar kumpulan manusia disebut kelompok sosial:
Adanya kesadaran setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan bagian dari kelompok bersangkutan
Ada hubungan timbal balik antar anggota
Ada faktor pengikat yang dimiliki bersama
Berstruktur , berkaidah dan mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
2. Bentuk kelompok sosial
Dilihat dari besar kecilnya anggota kelompok:
1. Kel. Sos. Kecil
2. Kel. Sos. Besar
b. Dilihat dari proses terbentuknya:
1. Kelompok semu/khayalak ramai: sementara,dan memiliki kepentingan sesaat
Contoh: massa, crowd, mob,public. audience
2. Kelompok nyata/organisasi sosial
contoh: keluarga luas/klan/marga, assosiasi,
c. Dilhat dari erat/tidaknya ikatan kelompok:
menurut Ferdinant Tonies:\
1. Kelompok Gemeunschaft/paguyuban
2. Kelompok Gesselschaft/patembayan
sumber : http://kus1978.wordpress.com/2009/02/16/materi-kuliah-isbd/

Jumat, April 09, 2010

Pola Asuh Orang Tua terhadap Anak

1. Pola Otoriter
- orang tua bersikap kaku
- senang menekan, memerintah, berperilaku kasar baik ucapan maupun tindakan
- cenderung menguasai dan senang mempermalukan
- kebebasan anak sangat dibatasi
- orangtua selalu memaksa kepada anak untuk berperilaku seperti yang dinginkan
- menerapkan hukuman dngan, seperti menampar, memukul, menempeleng dll

2. Pola Permisif
- tidak menerapkan disiplin terhadap anaknya
- terlalu memberi kebebasan kepada anaknya dalam berperilaku
- orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan
- orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan.
- segala keputusan diserahkan kepada anaknya

3. Pola Asuh Demokratik
- membuat aturan aturan yang disetujui bersama
- menegakkan disiplin secara konsisten
- untuk orang tua, disiplin merupakan bagian dari cinta.
- anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginan, dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain.
- mendorong anak untuk mampu berfikir secara mandiri, bertanggungjawab dan yakin terhadap diri sendiri.

sumber: Pedoman penyuluhan P4GN,h.93

Kamis, April 01, 2010

GENDER DALAM HUKUM ADAT

Oleh
Ni Nyoman Sukerti
Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

The national government of Indonesia is committed to legal gender equality by the 1945 Indoensia Constitution, article 27 (1), and the ratification of the Convention for Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) in 1984. However, customary law still prevailing in many regions in Indoneia often perpetuates deeply rooted discrimination based on gender until today. Examples of such discrimination are to found in Minagkabau, Java, and Bali where inheritance is regulated by gender biased customary law. Appropriate development policies and education may bring about a legal culture and practice that upholds legal gender equality.


Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa masalah gender sudah sering diwacanakan dan dibahas oleh pemerhati masalah gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat lokal, maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut ?. Karena tidak mengerti apa itu gender maka banyak orang beranggapan bahwa apabila orang mengatakan gender itu adalah sebagai usaha dari kaum perempuan untuk menunut harta warisan. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana, pajak, perdata, tata negara), aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah

1). Astiti, 2000; “Jender Dalam Hukum Adat”, Makalah, h. 1.

oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing2).

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang sub-ordinasi tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum femins berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.

2). Mansour Fakih, 1996; Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 8.
Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Kartini tersebut mendapat pengakuan yang tersirat pada Pasal 27 (1) U U D, 45 yang berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Di samping itu berbagai produk perundang-undangan yang telah dibentuk sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki, antara lain U U No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan), U U No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan U U No. 13 Tahun 2003 ( Undang-Undang Ketenagakerjaan ). Di antara produk perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskrimisati terhadap perempuan adalah U U No. 7 Thaun 1984, walaupun sudah diratifikasi akan tetapi kedudukan sub-ordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang hukum adat, khususnya dalam hukum kewarisan di mana Hazairin, sudah pernah menggagas untuk membentuk hukum adat waris nasional yang bersifat bilateral, demikian juga ada gagasan dalam seminar hukum adat di Yogyakarta tahun 1975 untuk membentuk hukum kekeluargaan nasional yang parental, akan tetapi sampai sekarang gagasan tersebut belum terwujud. Oleh karena demikian di Indonesia masih berlaku hukum adat waris yang beraneka ragam sesuai dengan sisitem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Indonesia.
Atas dasar latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan adalah apakah ada isu gender dalam hukum adat ?

Isu Jender Dalam hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan Hukum Waris)
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Dalam tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :
1. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lalin-lain.
2. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan ( ibu ), sistem ini dianut di Sumatra Barat ( daerah terpencil ).
3. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ) dan perempuan ( ibu ), sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya3).
Walaupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki.
Sistem kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan ( ibu ) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh karenanya dalam sistem

3). Sri Widoyatiwiratmo Soekito, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES , Jakarta, h. 58-59.
kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.
Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga “sentana rajeg” di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih patal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas4) , sehingga untuk menghindari

4). Nani Soewondo, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 47.
adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin.
Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya.
Anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg sudah tentu berbeda dengan kedudukan anak perempuan pada umumnya, oleh karena demikian justru dengan adanya lembaga sentana rajeg ini malahan memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan. Disamping itu dengan adanya proses perkawinan nyeburin untuk memberikan status yang sama terhadap anak perempuan dengan status anak laki-laki malah justru memperkuat dan mengajegkan sistem kekerabatan patrilinial yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kedudukan yang sangat tinggi dan pada akhirnya tetap terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam masyarakat Bali yang mengenal lembaga sentana rajeg, perlu dipertanyakan apakah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg ?. kenyataannya belum tentu bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan tersebut. Hal ini seperti telah diuraikan diatas di mana dalam sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan yang berstatus sentana rajeg, di mana yang mewakili keluarga sebagai anggota banjar, anggota desa adat, rapat-rapat keluarga, adalah tetap laki-laki yang kawin dengan anak perempuan yang berstatus sentana rajeg tersebut bukan perempuan yang berstatus sentana rajeg. Karena laki-laki yang mewakili sebagai anggota keluarga dalam segala urusan keluarga maka laki-lakilah yang ikut dalam segala pengambilan keputusan, maka laki-lakilah kembali yang memegang peranan atau tetaplah kekuasaan berada di tangan laki-laki. Jadi tetap terjadi sub-ordinasi terhadap perempuan dan terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental seperti yang dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya pada prinsipnya menempatkan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dalam hal mewaris. Semua anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu sama-sama sebagai ahli waris. Apabila diperhatikan lebih jauh dalam pembagian harta warisan justru terdapat sub-ordinasi dan dikriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 yang dalam istilah adat dikenal dengan isilah “sepikul segendong”. Kalau dilihat dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat tetap berada di tangan laki-laki oleh karena demikian idiologi patriarki tetap nampak pada masyarakat yang parental. Oleh karena demikian dalam masyarakat yang parental tetap terdapat bias gender.

Isu Jender Dalam Perundang-Undangan
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin
Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.

Salah satu produk peraturan perundang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan adalah U U No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan.
Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain :
1. Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.
2. Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
3. Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.
4. Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
5. Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan istri sangat lemah dan sub-ordinasi.
6. Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri/wanita diposisikan lemah dan sub-ordinasi.
7. Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.
Mencermati ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah jelas telah terjadi ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender terhadap perempuan karena perempuan selalu diposisikan pada posisi yang lemah dan sub-ordinasi sehingga tetap terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Di samping itu undang-undang yang bias gender adalah undang-undang perpajakan di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa perempuan yang telah bersuami tidak sebagai wajib pajak. Akan tetapi kalau diperhatikan kenyataannya banyak perempuan dalam hal ini istri yang berpenghasilan lebih banyak dari pada suami dan ini juga akibat adanya pengaruh budaya patriarki.
Oleh karena demikian dalam hukum pajakpun telah terjadi ketidakadilan hukum dan ketidak adilan gender di dalamnya
Dalam kaitan itu Yanti Muchtar menguraikan bahwa telah terjadi bias gender dan hukum dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) oleh karena dalam penggunaan alat-alat keluarga berencana ( KB ) lebih banyak memakai organ tubuh perempuan sebagai obyek bila dibandingakan dengan organ tubuh laki-laki5).
Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh budaya patriarki yang mempengaruhi segala aktifitas laki-laki baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat termasuk dalam aktifitasnya membuat aturan-aturan hukum. Oleh karena yang membuat peraturan hukum itu adalah masyarakat ( laki-laki ) maka sering produk yang dihasilkan tidak menunjukan kesetaraan dan keadilan gender.





5).Yati Muchtar, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14, , h.12-13.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa mencerminkan bias gender dalam hubungannya terutama terkait dengan sistem kekerabatan dan perkawinan serta pewarisan yang masih berlaku dewasa ini. Ketiga hal tersebut menunjukan adanya perbedaan di satu tempat dengan di tempat lainnya, tergantung dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Disamping adanya perbedaan, terdapat pula adanya persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan, ini nampak sama yaitu tetap berada di tangan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh budaya partiarki yang bersifat universal yang bersifat turun temurun.
Secara umum kedudukan perempuann dalam hukum adat masih mencerminkan sub-ordinasi dan bias gender terhadap perempuan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum negara juga mencerminkan ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perpajakan.
Keadaan yang sub-ordinasi terhadap perempuan dapat berubah seiring dengan kemajuan jaman dan majunya tingkat pendidikan suatu masyarakat. disamping perubahan itu dapat juga terjadi melalui proses kesadaran masyarakat yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender, melalui pendidikan, peraturan perundang-undangan yang adil hukum dan gender. Sehingga kesetaraan dan keadilan hukum dan keadilan gender dapat terwujud.


DAFTAR PUSTAKA

Astiti, T.I.P., 2000; “Jender Dalam Hukum Adat” Makalah.
Fakih, Mansour, 1996; Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muchtar, Yati, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekito, Sri Widoyatiwiratmo, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta.
Undang-Undang Dasar, 1945; Apollo, Surabaya.
Undan-Undang No. 1 Tahun 1974 dan P P No. 9 Tahun 1975; Karya Anda, Surabaya.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Permpuan, Kantor Mentri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1993.

Sumber http://www.google.co.id/search?rlz=1C1_____enID354ID354&sourceid=chrome&ie=UTF-8&q=sistem+kekerabatan+parental

Minangkabau dan Sistem Kekerabatan

Draft : Subangan Pikiran untuk Kompilasi ABSSBK, oleh BuyaHMA;-.[…]
MINANGKABAU DAN SISTIM KEKERABATAN
Hubungan Kekeluargaan Minangkabau, bersuku ke ibu, bersako ke mamak, dan bernasab ke ayah

Oleh : H Mas’oed Abidin

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO
1. Asal usul manusia Minangkabau
Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.
Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.
Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.
Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.
Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.
Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.
Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.
Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.
Minangkabau menurut sejarah
Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.
Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.
Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.
Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.
Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.
Minangkabau menurut tambo
Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal; (1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung. (2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.
Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.
Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.
Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah;
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung.
Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.
Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
ASAL KATA MINANGKABAU
Kata Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang asal kata Minangkabau.
a. Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke 12.
b. Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.
c. Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.
d. M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.
e. Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengkol).
Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh orang Minangkabau.
Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau. Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.




WILAYAH ASAL MINANGKABAU
Membicarakan tentang wilayah Minangkabau, seperti yang dijelaskan di atas, harus dilihat dalam dua pengertian yang masing-masingnya berbeda;
1. Pengertian budaya
2. Pengertian geografis
Dalam pengertian budaya, wilayah Minangkabau itu itu adalah suatu wilayah yang didukung oleh suatu masyarakat yang kompleks, yang bersatu bersamaan persamaan asal usul, adat, dan falsafah hidup.
Menurut tambo, wilayah Minangkabau disebutkan saedaran gunuang Marapi, salareh batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie, sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.
Mengenai batas-batas yang disebutkan di atas, berbagai penafsiran terjadi. Ada yang mengatakan bahwa batas-batas itu adalah simbol-simbol saja tetapi wilayah itu tidak ada yang jelas dan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa batas-batas itu adalah benar dan nagari-nagari yang disebutkan itu ada sampai sekarang. Dalam hal ini tentu kita tidak perlu melihat perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, karena kedua-dua pendapat itu ada benarnya.
Dalam pengertian geografis, wilayah Minangkabau terbagi atas wilayah inti yang disebut darek dan wilayah perkembangannya yang disebut rantau dan pesisir.
a. Darek
Daerah dataran tinggi di antara pegunungan Bukit Barisan; di sekitar gunung Singgalan, sekitar gunung Tandikek, sekitar gunung Merapi dan sekitar gunung Sago. Daerah darek ini dibagi dalam tiga luhak; (1) Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, buminyo nyaman, aienyo janiah ikannyo banyak, (2) Luhak Agam sebagai luhak nan tangah, buminyo anegk, aienyo karuah, ikannyo lia, (3) dan Luhak Limo Puluah Koto sebagai luhak nan bongsu, buminyo sajuak, aienyo janiah, ikannyo jinak.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Tanah Data adalah; Pagaruyung, Sungai tarab, Limo Kaum, Sungayang, Saruaso, Sumanik, Padang Gantiang, Batusangka, Batipuh 10 koto, Lintau Buo, Sumpur Kuduih, Duo puluah koto, Koto Nan Sambilan, Kubuang Tigobaleh, Koto Tujuah, Supayang, Alahan Panjang, Ranah Sungai Pagu.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Agam adalah; Agam tuo, Tujuah lurah salapan koto, Maninjau, Lawang, Matua, Ampek Koto, Anam Koto, Bonjol, Kumpulan, Suliki.
Nagari-nagari yang termasuk ke dalam luhak Limo Puluah Koto adalah; luhak terdiri dari Buaiyan Sungai Balantik, Sarik Jambu Ijuak, Koto Tangah, Batuhampa, Durian gadang, Limbukan, Padang Karambie, Sicincin, Aur Kuniang, Tiakar, Payobasuang, Bukik Limbuku, Batu Balang Payokumbuah, Koto Nan Gadang (dari Simalanggang sampai Taram); ranah terdiri dari Gantiang, Koto Laweh, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Taeh Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batingkok, Tarantang, Selo Padang Laweh (Sajak dari Simalanggang sampai tebing Tinggi, Mungkar); lareh terdiri dari Gaduik, Tebing Tinggi, Sitanang, Muaro Lakin, Halaban, Ampalu, Surau, Labuah Gurun ( dari taram taruih ka Pauh Tinggi, Luhak 50, taruih ka Kuok, Bangkinang, Salo, Aie Tirih dan Rumbio)
b. Rantau.
Daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah lunto Sijunjung, sampai perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini disebut sebagai ikue rantau.
Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut Minangkabau Timur yang terdiri dari;
a) Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo (sepanjang Batang Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai Dareh), Sitiuang, Koto Basa.
b) Rantau Nan Kurang Aso Duopuluah (rantau Kuantan)
c) Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang Kampar)
d) Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto Ubi, Koto Ilalang, Batu Tabaka)
e) NegeriSembilan

c. Pesisir
Daerah sepanjang pantai barat Sumatera. Dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluah, terdiri dari; Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang kapeh, Painan (Bungo Pasang), seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura,Kerinci,Muko-muko,Bengkulu.

SISTIM KEMASAYARAKATAN/KELARASAN
Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung.
Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau.
Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan instisuti lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.
Rajo Tigo Selo berasal dari keturunan yang sama. Hanya penempatan, tugas serta kedudukannya yang berbeda.
KEDUDUKAN/TEMPAT TINGGAL
Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Daerah-daerah rantau barat dan timur merupakan daerah yang berada langsung di bawah raja, dengan mengangkat “urang gadang” atau “rajo kaciak” pada setiap daerah. Mereka setiap tahun menyerahkan “ameh manah” kepada raja.
Daerah-daerah yang langsung berada di bawah pengawasan raja
Daerah-daerah rantau tersebut adalah:
Rantau pantai timur
1. Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut juga Rantau Tuan Gadih.
2. Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo.
3. Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu
4. Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar)
5. Negeri Sembilan
Rantau pantai barat:
1. Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau Rajo
2. Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.

PERANGKAT RAJA
Basa Ampek Balai
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh 4 orang menterinya yang disebut Basa Ampek Balai dan seorang Panglima Perang, Tuan Gadang Batipuh.
Datuk Nan Batujuh
Di daerah kedudukan (tempat raja menetap/tinggal), setiap raja mempunyai perangkat penghulu tersendiri untuk mengurus masalah masalah daerah kedudukan dan kerumah tangga. Datuk Nan Batujuh, yang mengurus segala hal tentang wilayah raja (Pagaruyung). Datuk Nan Barampek di Balai Janggo yang mengurus segala hal tentang kerumahtanggaan.
Pada mulanya, datuk-datuk ini diangkat oleh raja. Jadi, datuk-datuk ini berbeda dengan datuk-datuk di nagari-nagari lainnya. Datuk di nagari lainnya merupakan pimpinan kaum, sedangkan datuk-datuk ini perangkat raja.
Datuk-datuk tepatan raja pada wilayah atau nagari-nagari tertentu ada datuk-datuk yang ditunjuk untuk perpanjangan tangan raja, tempat tepatan raja.
SISTEM KELARASAN
1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.
2. Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan) yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di Limo Kaum.
Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi.


Kedudukan raja terhadap kedua kelarasan
Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai pemersatu.
TEMPAT PERSIDANGAN
1. Balai Panjang.
Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi Caniago, Rajo-rajo
di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.
2. Balairung
Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung
3. Medan nan bapaneh
Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh dipimpin
Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih
4. Medan nan Balinduang
Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan Balinduang dipimpin
oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.
5. Balai Nan Saruang
Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan Saruang

LAREH NAN DUO
Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo, yang dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego.(disebut juga Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun yang lazim dikenal hanyalah dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Di dalam tambo disebutkan;
Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.

Di dalam mamangan lain dikatakan:
Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak
Malu nan alun kababagi.

A. KELARASAN KOTO PILIANG
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah
Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:
1. Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
2. Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
3. Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
4. Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang
(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)
5. Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang
Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah kedudukannya.
Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll).
Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan sebagainya. Misalnya;
a) Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu
b) Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan
c) Indomo untuk daerah pesisir barat utara.
d) Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut.






LANGGAM NAN TUJUAH (7 daerah istimewa)
Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai.
Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan.
Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing:
1. Pamuncak Koto Piliang
Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
2. Gajah Tongga Koto Piliang
Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak
3. Camin Taruih Koto Piliang
Daerahnya Singkarak & Saningbaka
4. Cumati Koto Piliang
Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
5. Perdamaian Koto Piliang
Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
6. Harimau Campo Koto Piliang
Daerahnya Batipuh 10 Koto
7. Pasak kungkuang Koto Piliang
Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan

SISTEM YANG DIPAKAI DALAM KELARASAN KOTO PILIANG
Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak buliah dibandiang. Maksudnya; segala keputusan datang dari raja. Raja yang menentukan.
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai, diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat.
Bila kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Rajo Alamlah yang memutuskan.
Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo.



KELARASAN BODI CANIAGO
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum.
Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk nan di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan, karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti).
Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek, lubuak nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo)
a. Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
b. Tanjung Sungayang
c. Tanjuang Alam
d. Tanjuang Barulak
e. Lubuk Sikarah
f. Lubuk Sipunai
g. Lubuk Simawang
SISTEM YANG DIPAKAI DALAM KELARASAN BODI CANIAGO
Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah.
Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang. Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji kebenarannya.
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum. Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana badiri sandirinyo.

LAREH NAN PANJANG
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo. Selain itu pula, ada satu lembaga lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaan antara Datuk Badaro Putiah di Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk Bandaro Kuniang (Bodi Caniago). Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau Bodi Caniago, tetapi berada antara keduanya. Di dalam pepatah adat disebutkan:
Pisang sikalek-kalek utan
Pisang simbatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah
Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Di ateh, 7 Koto Di bawah, batasan wilayahnya disebutkan Sajak dari guguak Sikaladi Hilie, sampai ka Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang Bangkaweh.
8 Koto Di ateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang, Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.
7 Koto Di bawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan, Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu.
Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu. Kemudian disusul dengan adanya Datuk Bandaro Hitam yang juga punya fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya).

PENGHULU
Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya. Perangkat itu terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang nan ampek jinih.
Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia juga bergelar datuk.

Nama Gelar Penghulu.
Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro misalnya. Datuk Bandaro.
Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata, untuk memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk Bandaro Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Bandaro Hitam.
Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan memerlukan seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya. Begitu seterusnya.
Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah sibaran dalam tingkat ke sekian.




SISTIM KEKELUARGAAN MATRILINEAL
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.
Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting.
Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.
Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungkait yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.
Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.
Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.
Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.
Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.
Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.
Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.
Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.
Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkakabu itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.
Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.
Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal;
A. PENGATURAN HARTA PUSAKA
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
1. Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.
Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu.
Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga.
Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.
Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:
a. Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.
b. Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.
c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh pengulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya.
Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya.
Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.
Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.
Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik.
Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.
Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
a. Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.
b. Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.

PERANAN LAKI-LAKI
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan.
1. SEBAGAI KEMENAKAN
Di dalam kaumnya, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan (atau dalam hubungan kekerabatan disebutkan; ketek anak urang, lah gadang kamanakan awak). Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan Surau menjadi penting, karena Surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut.
Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a. Kemenakan di bawah daguak
b. Kemenakan di bawah pusek
c. Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya.
Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah).
Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.
2. SEBAGAI MAMAK
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.
3. SEBAGAI PENGHULU
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual, menggadai atau menjadikan milik sendiri).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya;
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari
4. PERANAN DI LUAR KAUM
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak.
Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
a. Sumando ninik mamak. Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.
b. Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
c. Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.
Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;
Sadalam-dalam payo
Hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando
Hinggo pintu biliak
Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando
Elok hukum dek mamaknyo
KAUM DAN PESUKUAN
Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum dari keturunan tersebut.
Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande. Yang berasal dari satu ibu (mande). Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang sama.
Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek. Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum.
Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya.
Suku artinya seperempat atau kaki. Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari tersebut. Karena, dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar.
Padamulanya suku-suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itupun dimekarkan.
Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo dll.
Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll.
Dalam majlis peradatan keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku.
Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.
Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari perempuan yang sama.
Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut dengan sapayuang. Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut sahindu. Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu kaum punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku;
(1) STRUKTUR DI DALAM KAUM
Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut;
a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk.
b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang, karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak. Mamak-mamak yang mempimpin setiap rumah gadang itu disebut; tungganai.
Seorang laki-laki yang memikul tugas sebagai tungganai rumah pada beberapa suku tertentu mereka juga diberi gelar datuk.
Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak biasa.
Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.
(2) STRUKTUR DALAM KAITANNYA DENGAN SUKU LAIN.
Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin dengan anggota suku lain, maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat dalam tali perkawinan tersebut.
a. Induk bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda; induak bako dan anak pisang. Induak bako adalah semua ibu dari keluarga pihak ayah.
Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah.
Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda; andan dan pasumandan.
Pasumandan adalah pihak keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam kaum suami.
Sedangkan andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.
c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak pengertian pula, antara lain;
a) Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b) Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c) Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d) Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang berdampingan dengan LKAAM.
Bundo kanduang yang dimaksudkan di sini adalah, Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.
Bundo kanduang sebagai perempuan utama
Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu.
Perempuan yang disebut bundo anduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul.
Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

PEREMPUAN MINANGKABAU DI MASA DEPAN

Perempuan Minangkabau di masa depan, dapat dilihat dengan menjadikan 3 kurun yang ditempuh dalam perjalanan masyarakat Minangkabau sebagai titik-titik untuk membangun sebuah perspektif ke depan. Kurun waktu yang dimaksudkan adalah; masa kehidupan masyarakat tradisional, masa transisi terutama dalam masa penjajahan dan kemerdekaan dan pada zaman modern seperti saat ini.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional, keberadaan perempuan Minangkabau dapat dilihat dari dua sumber; teks kaba dan karya sastra. Sedikit sekali didapatkan informasi lain selain kedua sumber tersebut.
Dalam masa transisi dan masa modern dalam dilihat dalam novel-novel modern, kajian-kajian sejarah dan sosiologi. Dengan demikian, dari ketiga masa itu akan dapat dibangun suatu ramalan atau perspektif perempuan Minangkabau di masa depan.
Dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Ketika itu tidak dipakai kata emansipasi, persamaan hak, jender sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum wanita barat.
Dalam berbagai kaba atau cerita rakyat, perempuan Minangkabau telah menduduki tempat dari pucuk tertinggi sampai terbawah.
Dari menjadi seorang raja sampai menjadi seorang inang.
Dari perempuan perkasa yang berani membunuh laki-laki lawan ayahnya untuk menegakkan suatu marwah, kehormatan kaumnya sampai kepada perempuan yang hanya bersedia menjadi tempat tidur laki-laki saja.
Dari seorang pengayom, pengasuh dan penentu dalam kaumnya, sampai kepada perempuan yang kecewa tak beriman dan bunuh diri.
Dari seorang perempuan yang lemah lembut, yang turun hanya sakali sajumaaik dan setelah ditinggalkan suami merantau atau meninggal, langsung membanting tulang untuk meneruskan kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Semua aspek yang digembar-gemborkan oleh perempuan modern, telah tertulis jelas dan gamblang dalam kaba.
Hal sedemikian itu, memberikan arti bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada.
Dalam masyarakat Minangkabau yang transisi, melalui rujukan sejarah, kita juga dapat melihat keberadaan kaum perempuan yang telah dapat meraih berbagai tingkat dalam kegiatan sosial masyarakatnya. Mulai dari kesuksesan mereka menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, sampai kepada perempuan yang nekad, terutama dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Dalam masa modern, apa yang dicapai perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan suku lainnya. Mereka dapat menjadi apa saja, siapa saja. Mereka dapat hidup di mana saja dan dalam kondisi apa saja. Mereka berani untuk berpikir terbalik dari pikiran-pikiran lama dan berbagai kemungkinan lain. Di dalam masyarakat modern, perempuan Minang sudah tidak ada bedanya lagi dengan perempuan suku lain. Kita tidak dapat membedakan lagi, itu perempuan Minang, atau itu perempuan bukan Minang. Tidak ada lagi faktor yang membedakan mereka secara fisik dengan perempuan lain. Namun, perbedaan yang mungkin akan terasa adalah pada; sikap hidup dan jalan pikiran. Sedangkan yang lain-lainnya sudah sama dengan yang lain.
Sikap hidup perempuan Minangkabau, bersikap terbuka dan selalu berusaha untuk menjadi basis dari kaumnya. Perempuan Minang memerlukan dan diperlukan oleh suatu perkauman. Perempuan Minang memerlukan pengakuan atas keberadaannya tidak pada orang luar kaumnya, tetapi di dalam kaumnya sendiri. Di luar kaum dia dapat saja menjadi orang modern sebagaimana perempuan lain, tetapi di dalam kaum, dia harus menjalankan fungsinya dengan baik. Ini berarti, bahwa perempuan Minangkabau harus kembali kepada “asal”, “fitrah”, dan “kodrat” nya agar tidak menjadi sesuatu yang tidak sumbang, sesuatu yang seharusnya diwadahi oleh adat dan budaya Minangkabai itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa perempuan Minang pada hakekatnya tidak pernah peduli apakah dia berada di dalam alam tradisional atau di dalam alam modern. Di dalam alam tradisinya dia sudah hidup dalam sikap dan pandangan sebagaimana sikap dan padangan perempuan yang dikatakan modern itu. Yang membedakan antara kedua alam itu hanyalah tatacara dan citarasa. Sedangkan sikap hidup, pandangan hidup, dan cara berpikir tetap akan berbeda dengan perempuan lain. Perempuan Minang akan tetap memakai cara berpikir dan pandangan hidup yang berbeda dengan perempuan lainnya. Banyak sekali contoh-contoh dapat disajikan terhadap hal ini.
Yang membedakan seseorang berasal dari suatu budaya tidak lagi dari segi bahasa, tatacara dan cita rasa, tetapi adalah dari sikap hidup, cara berpikir dan tinggi rendahnya kadar kepercayaan kepada agama yang dianutnya.
Cara berpikir dan sikap hidup perempuan Minang dengan perempuan lain pada hakekatnya merupakan naluri yang universal. Karena posisi budaya dan bahkan agama dalam pembentukan cara berfikir dan sikap hidup menjadi sangat penting. Semodern-modernnya perempuan Minang, dia belum akan mau melebur dirinya menjadi perempuan Jawa, perempuan Belanda, perempuan Jepang misalnya. Bahasa boleh sama, makanan boleh serupa, citarasa boleh disesuaikan, tetapi sikap hidup dan cara berpikir tetap akan berbeda.
KARAKTERISTIK PEREMPUAN MINANGKABAU
Karakteristik perempuan Minangkabau dapat ditelusuri melalui beberapa aktifitas masyarakat Minangkabau dalam berbagai aspeknya; (a) tingkah laku, bahasa dan sastra, nilai-nilai yang dianut dan (b) dalam berbagai kurun waktu; masa lalu dan masa kini dan untuk dapat memproyeksikannya ke masa depan. Kajian sosilogis historis ini mempunyai risiko kesalahan yang tinggi terutama karena kurangnya data pendukung. Namun dalam pembicaraan ini saya bertolak dari tiga aspek saja;
1. Bahasa dan sastra
2. Kesejarahan
3. Sistim nilai.
Dari aspek bahasa dan sastra; bahasa dan sastra telah melahirkan legenda, mitologi dan cerita rakyat (kaba). Kemudian dalam bentuk-bentuk tertulis berupa novel, cerita pendek dan puisi. Dalam cerita rakyat (kaba) pola pikir perempuan Minangkabau dapat dilihat pada perilaku tokoh-tokoh perempuan yang bermain di dalam cerita itu. Mulai dari Bundo Kanduang dalam kaba Cindua Mato, Gondan Gandoriah dalam kaba Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dalam kaba Sabai Nan Aluih, kaba Lareh Simawang dan banyak lagi. Dari apa yang disampaikan di dalam kaba, karakteristik perempuan Minangkabau dapat disimpulkan;
a. Mempertahankan warisan, kedudukan dan keturunan. Untuk semua itu, perangpun akan ditempuhnya. (dalam kaba Cindua Mato)
b. Kesetiaan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bila dimungkiri akan terjadi sesuatu yang fatal (dalam kaba Anggun Nan Tongga dan Lareh Simawang)
c. Bila laki-laki tidak mampu berperan dan bertindak, perempuan akan segera mengambil alih posisi itu (dalam kaba Sabai Nan Aluih)
Dalam sastra modern, atau kaba yang telah dituliskan seperti; Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan banyak lagi, pola pikir perempuan Minangkabau tampak menjadi semakin maju, bahkan menjadi lebih agresif;
1. Menjaga kehormatan keluarga.
2. Menempatkan posisinya lebih kukuh lagi dalam keluarga kaum.
3. Terbuka menerima pikiran-pikiran baru dan modern
Dari aspek kesejarahan; karakteristik perempuan Minangkabau yang dapat ditelususi dari tingkah laku tokoh-tokoh seperti; Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu pewaris kerajaan Pagaruyung setelah Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda, yang memberikan jaminan nyawanya pada Belanda agar beberapa beberapa penghulu Tanah Datar terhindar dari hukuman gantung, Siti Manggopoh dengan gagah beraninya membunuh tentara Belanda, Rahmah El-Yunusiah memilih bidang pendidikan bagi kaum perempuan, Rasuna Said dalam dunia jurnalistik dan politik dan banyak lagi. Apa yang telah dilakukan tokoh-tokoh sejarah itu dapat dilihat bahwa pola pikir perempuan Minangkabau;
a. Bersedia berkorban apa saja untuk menjaga keturunan, kaum dan martabat negerinya.
b. Melihat ke masa depan dengan segera mengambil posisi sebagai tokoh pendidikan dan tokoh politik.
c. Menjadi pusat informasi (dengan terbitnya suratkabar perempuan Soenting Melayoe)
Dari aspek sistim nilai: karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik) sedangkan laki-laki manager (pengurusan) terhadap semua aset kaumnya. Oleh karena itu sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil.
Tantangan ke depan
Berdasarkan kepada apa yang telah dicatat baik dalam bentuk bahasa dan sastra, maupun dalam bentuk kesejarahan, pola pikir perempuan Minangkabau pada hakekatnya, tidak mengandung unsur-unsur egoisme, rendah diri atau penghambaan.
Perempuan Minangkabau selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang mande, pusat dari segala kelahiran dan keturunan, kepemilikan aset kaum (sako dan pusako) yang harus dipertahankannya dengan cara apapun dan sampai kapanpun. Laki-laki atau suami baginya bukan penjajah, tetapi partner, kawan berkongsi (dalam kehidupan perkawinan).
Oleh karenanya perempuan Minang tidak mengenal kata gender, dan tidak memerlukan perjuangan gender. Dia punya posisi yang sama dengan laki-laki. Perempuan Minang tidak rendah diri terhadap lakli-laki, suaminya atau hal-hal yang berada di luar dirinya. Dia sedia untuk menjadi pedagang bakulan di pasar, sedia menjadi raja, sedia menjadi tokoh pendidik, tokoh politik, bahkan sedia untuk nekad dan kalau perlu bunuh diri dalam mempertahankan haknya atau sesuatu yang diyakininya, seperti dalam kaba Lareh Simawang itu misalnya.
Jika bertolak dari karakteristik yang telah disebutkan di atas, tantangan ke depan bagi perempuan Minangkabau pada hakekatnya tidak ada. Sudah sejak dulu mereka terbuka menerima pikiran-pikiran ke depan. Mereka sangat selektif dan arif terhadap pemikiran-pemikiran baru.
Jika ada suatu pemikiran muncul untuk mengubah sistem matrilineal dengan alasan apapun, perempuan Minang akan bangkit mempertahankannya. Sistem kekerabatan itu sangat menentukan dan prinsipil; bagi eksistensi dirinya, kaumnya, sukunya dan seterusnya harta pusaka.
Bila laki-laki tidak mampu berperan lagi dalam konteks persoalan apapun, perempuan Minang akan segera menggantikannya. Seorang suami, boleh pergi atau mati, tapi dia dan anak-anaknya akan tetap menjaga diri dan kehormatannya untuk melangsungkan kehidupan.
Namun bila disakiti, dianiaya, diterlantarkan, disia-siakan, dia akan segera bereaksi; lunak ataupun keras, kalau perlu bunuh diri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan laki-laki. Tindakan keras demikian mungkin mereka dapat dituduh sebagai seorang fatalis, tetapi pada hakekatnya mereka tidak mau menerima perlakuan yang tidak adil, dari siapapun juga.
Untuk menjelaskan lagi perbedaan karakteristik perempuan Minang adalah sebagai berikut; Seorang perempuan Minang selalu bertanya kepada suaminya yang baru pulang; “Baa kaba?” Bagaimana keadaan, apa yang telah terjadi di luar rumah? Dia ingin berbagi sakit dan berbagi senang terhadap apa yang dialami suaminya. Soal suaminya mau makan atau mau tidur adalah otomatis dan mutlak menjadi kewajiban seorang istri, perempuan Minang tak perlu menanyakannya lagi.
SUMBANG BAGI PEREMPUAN MINANGKABAU
Sesuatu perbuatan dapat dikatakan sumbang apabila tidak sesuai, tidak sejalan atau bertentangan dengan etika, norma, tata nilai yang telah berlaku dalam masyarakat. Sesuatu perbuatan atau perilaku perempuan Minangkabau dapat dikatakan sumbang apabila ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan apa yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sumbang itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan persoalan, terutama dalam masalah kecantikan, penampilan diri, peranan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sosial dalam bermasyarakat atau bernagari dan hal lainnya.
Tentang kecantikan.
Dalam kosa kata Minangkabau tidak ada kata cantik. Karena tidak ada kosa kata demikian, secara hukum kebahasaan ataupun mengikut pada sosio-linguistik dapat dikatakan bahwa orang Minang tidak kenal dengan cantik, atau tidak mempermasalahkan benar akan hal kecantikan itu jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di Indonesia. Di dalam masyarkat Jawa misalnya, ada pakem atau bakuan untuk seseorang dapat dikatakan cantik. Dalam bahasa Minangkabau yang ada kata cantiak, atau contiak, yang artinya jauh berbeda dengan kata cantik yang dimaksudkan dalam bahasa Indonesia. Juga ada kata rancak, yang hampir mirip artinya dengan cantik. Tapi dalam kalimat mati karancak an, arti kata rancak menjadi lain pula.
Di dalam pepatah-petitih, maupun mamangan adat Minang, tidak ada disebut kata cantik, atau sebuah kata lain yang bermakna cantik. Kalaulah kata cantik dapat dipadankan dengan kata rancak, maka ungkapan yang ada dalam mamangannya adalah; condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak atau tampak rancak musajik urang, buruak tampaknyo surau awak. Jadi, jika merujuk kepada aspek kebahasaan; mamangan atau pepatah petitih adatnya, kecantikan bagi orang Minang bukan sesuatu yang dipermasalahkan, bukan sesuatu yang penting benar, bukan sesuatu yang menentukan apalagi peranannya dalam terbentuk suatu nagari.
Kecantikan, jelas ditujukan kepada kaum wanita. Ukurannya subjektif sekali. Ukuran kecantikan juga mengikuti selera zaman, bangsa atau kaum tertentu.
Mungkin karena sifatnya yang temporer itu, maka adat Minangkabau tidak membuat bakuan tentang sesuatu yang disebut cantik. Dia menjadi sesuatu yang sumbang bila seorang perempuan lebih menampilkan kecantikannya dari tugas dan fungsinya sebagai perempuan, terutama dalam konteks berkeluarga dan dalam perkauman.

Tentang Penampilan Diri
Penampilan diri, atau keberadaan seseorang perempuan di tengah-tengah orang lain adalah sesuatu yang selalu diperkatakan. Penampilan yang tidak sempurna akan dapat merusak citra seseorang. Terutama bagi ibu-ibu atau perempuan Minang yang melakukan aktivitas luar rumah.
Untuk kesempurnaan penampilan diri, berbagai cara dilakukan. Mulai dari nama yang dipakai, jenis aktifitas yang dilakukan, posisinya dalam aktifitas tersebut, sampai kepada pakaian. Nama misalnya, seseorang memerlukan legimitasi berupa nama, pangkat dan gelar suami, gelar kesarjanaannya yang telah diraihnya sendiri, gelar hajjah dan lainnya, agar dirinya terasa “berpenampilan” di antara yang lain.
Sumbang kiranya bagi perempuan Minang meletakkan nama suaminya di belakang namanya sendiri, karena menurut ajaran adat dan agama selama ini tidak demikian. Penampilan diri seorang perempuan Minang umumnya sangat menentukan dalam aktivitasnya. Semua aktivitas tersebut tidak ada kaitannya dengan kecantikan.
Sumbang bagi perempuan Minang ikut dalam acara yang hanya untuk tampil begitu saja tanpa ada keperluan, fungsi, tugas yang berkaitan dengan aktivitas tersebut. Penampilan diri diperlukan oleh setiap orang yang akan menampilkan diri, di manapun, dan dalam konteks apapun juga.
Di dalam adat Minang, masalah penampilan diri bagi perempuan tidak pula pernah dijadikan suatu mamangan atau pepatah petitih. Sebab, perempuan tak dilazimkan untuk menampilkan dirinya dalam acara-acara yang umum sifatnya.
Penampilan diri bagi perempuan terbatas pada acara-acara tertentu saja. Jadi, kalau dibuat ukuran sumbang dalam hal ini, sulit dicarikan rujukannya, penampilan diri yang bagaimana yang tidak sumbang, yang sesuai dengan adat Minangkabau.
Kalaupun ada yang mengatakan bahwa penampilan perempuan Minang itu seperti mamangan; unduang-unduang ka sarugo, atau acang-acang dalam nagari atau langkahnyo bak siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah dan sebagainya, itu merupakan ungkapan simbolik, bukan sebuah patron atau bakuan dalam adat.
Penampilan yang tidak sumbang itulah yang mungkin perlu dicari.
Jadi, suatu penampilan yang baik bagi seorang perempuan, tentulah memenuhi kaidah-kaidah kesusilaan, kepantasan dan keindahan.


Hal-hal yang ideal
Sungguhpun masalah cantik dan penampilan diri masih dilihat dalam kerangka kepentingan laki-laki, namun bagi kaum perempuan yang tidak cantik tidak perlu pula berkecil hati. Kecantikan fisik takkan bertahan lama.
Ada hal-hal ideal yang perlu dipahami oleh seluruh perempuan Minang lebih utama terletak jiwa atau pribadi.
Seorang perempuan Minangkabau bagaimanapun cantiknya tetapi tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat mengimplementasikan kecantikannya dengan baik, cantik fisiknya akan tertimbun oleh ketidakcantikan dalam hubungan sosial.
Kecantikan fisikal jika tidak disertai oleh pribadi yang terpuji, kecantikan itu akan menjadi kerabang saja, sama seperti orang memakai topeng. Sumbang.
Begitupun dengan penampilan diri. Penampilan diri seorang perempuan akan kukuh bila didukung keyakinan akan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Penampilan diri datangnya dari dalam, dari pribadi diri seseorang.
Wibawa, kharisma, ditentukan oleh keyakinan dirinya terhadap kemampuannya, bukan oleh faktor-faktor luar lainnya.
Oleh karena itu, agar tidak dikatakan sumbang, seorang perempuan Minangkabau harus mengetahui dan menyadari betul bagaimana keberadaannya di tengah-tengah masyarakatnya, apalagi kalau dia berada dalam sebuah nagari.











KEKERABATAN
K
ekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib; tepatnya qaf, ra dan ba; qaruba, qurbaan - wa qurbaanan, dari bahasa Arab dengan makna dekat, hampir atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya. Dan telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik (kaum kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba 'ik (jauah - dakek; jauh dekat) ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat campuran berbagai kelompok .
Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba 'id dipakai dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku tetapi termasuk ipar besan (andan sumandan dan ando sumando), anakpisang (anak pusako, anak mamak) atau induak bako (kaum ayah) - bako-baki. Bila orang Minang berada di rantau —jauh atau dekat-, kadangkala sebutan karib-ba'id diperluas menjadi orang yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama Minang atau malah asal ada bau-bau Minangnya.
Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau akan terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu: la bisa di ungkap dalam hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-adat Minangkabau yang matrilinel dengan sebutan nan batali darah dan dalam lingkungan yang terbatas antara orang-orang yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan terungkap dalam sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan seterusnya. Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan ba sapiah ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah menyebut, dakok mancari indu, jauah mancari suku.
Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang dilahirkan, disebut anak pisang.
Sebagai contoh tiga keluarga A, B dan C adalah berkerabat karena sebab perkawinan dan masing-masing kelompok berkerabat karena turunan matrilineal.
Anak-anak kelompok keluarga B adalah anak pisang dari kelompok keluarga A disebabkan terjadinya garis perkawinan antara perempuan keluarga B dengan lelaki dari kelompok keluarga A.
Perempuan dalam kelompok keluarga A dari sisi pandang kelompok B akan disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan dihimbaukan sebagai andan sumandan, karena anak lelaki mereka bersemenda ke kaum itu.
Pada saat yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut induak bako oleh anak-anak dari perempuan kelompok A dan juga akan disebut sebagai anak pisang oleh seluruh anak-anak dari perempuan warga kelompok B.
Perkawinan antara lelaki ke perempuan dari kedua kelompok A dan B ini satu ketika akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka menikah dengan kemenakan-kemenakan ayahnya sendiri. Dari sisi pihak perempuan A dan B yang sudah terikat pernikahan timbal balik ini akan disebut ma ambiak (pulang) anak pisang. Demikian juga sebutan bagi hubungan lelaki kelompok A yang menikah dengan perempuan kelompok B akan disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan B akan disebut ma ambiak induak bako.
Dapat juga diungkap bentuk kekerabatan yang terjadi karena sebab perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek induak dan sebagainya.
Dari perkawinan antar etnis, budaya Minangkabau punya solusi penyelesaian. Yaitu dengan memasukkan calon menantu (lelaki atau perempuan) ke kaum induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila lelaki akan juga diberi gelar secara Minangkabau.
Bila tidak demikian, menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam lingkungan kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah tangga dan keluarga mertuanya.
Di masa sebelum 50-an sangat banyak ditemukan perantau lelaki etnis lain bahkan etnis Cina yang diterima sebagai kemenakan dan diberi suku sepanjang yang bersangkutan beragama agama Islam.
Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah Minang, secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang akrab dan membaur dan diakui menjadi masyarakat Minangkabau. Demikian, bila Minangkabau dilihat dari sudut kebudayaan, bukan genealogis.
Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam budaya (adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling memelihara.
Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek -malam danga-dangakan atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang manjalang.
Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota kaum, bukan saja agar tetap berhubungan dalam suka dan duka, tapi juga menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu untuk saling menjaga atau mengontrol supaya jangan terjadi sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman sepergaulan pun.
Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan ajaran dan anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.
Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara silaturrahmi antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo, sasek batunjuak-an; lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok bajagokan.
Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti yang diajarkan dalam Islam,
        
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al'Ashr : 3)
Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.
Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi - nan tuo dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik.
Sseperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. "Bukanlah dari golongan kami, mereka yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran ". (HR Turmudzi dan Ahmad).









NILAI KEKERABATAN

N
ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya.
Bila seorang lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang sebagai tindakan baralah.
Dengan demikian paham individualistis (nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua (termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki menghadapi saudara perempuannya.
Namun pada saat yang sama menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut. Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan saparinduan, (yang sekaum sepusaka - sepandam sepekuburan) atau yang sepesukuan (yang sepayung sepenghulu), yang se surau, se sasaran maupun yang se korong se kampung – se tepian tempat mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang ba kuduang - nan bakaratan, basapiah nan babalahan dalam kadar yang wajar.
Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa ino sa main.
Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak di nagari mamaga nagari.
Pepatah yang sering juga di salah artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata salah menurut ukuran umum.
Sehingga masa kini pun masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang atau cakak banyak ba nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah induknya yaitu: syarak mangato - adat mamakai. Sesuai patron Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah.
Dan itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.: "Bantulah saudaramu yang menganiaya maupun yang teraniaya"; Ditanyakan: "Wahai Rasulullah, aku -bisa- menolong yang teraniaya, lalu bagaimana aku -akan- menolong yang menganiaya ? ". Rasul menjelaskan: "Kamu mencegahnya dari perbuatan menganiaya, demikianlah bentukpertolongan kepadanya ".
Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda karena langsung menyangkut masalah. Sabda Nabi saw. "Tidak mengapa (saling bersorak, tapi) seseorang hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang dianiaya". Dengan uraian penjelasan "Jika dia menganiaya, cegahlah dia; jika dia dianiaya bantulah dia".
Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong, tagak disuku mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut masuk (terjun) dalam masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan masing-masingnya menjaga prilaku supaya tidak memalukan korong atau suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak famili atau kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang masalah dan memalukan korong kampung atau suku sebagai tindakan pencegahan.
Selain itu, tindakan berupa aksi langsung memberikan perlindungan (jika mampu dengan kekuatan sendiri) atau memberikan pembelaan (dengan berbagai kemungkinan yang terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits: Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya. termasuk dalam pengertian ini.
Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan.
Budaya Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan "co kambiang mangawan" terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di tempat umum.
Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak (kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya bataratik atau kenal sopan santun. Dan 'rang semenda akan diberi teguran oleh mamak rumah nya secara kias, bila anak-anaknya berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab kelahiran dalam korong orang).
Nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal), a.l: di cancang pua - ta garik andilau ; (di cencang puar, tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau).
Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang (disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya, bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak melakukan teguran.
Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional, maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera Baratnya.
Ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber gunjingan.
Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka - si cerek ta bao rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);
Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman, meskipun dalam bentuk menanggung malu.
Perlu diungkap, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun dengan Firman Allah Swt:
•   •     
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari kalangan (sekitar) kamu .
Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban (hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat, teguran bahkan pencegahan secara langsung.
Prinsip ini juga terlihat dianut oleh Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum, dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan, lupo manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.
dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar -semua- hak-hak tersebut". (HR Bukhari)
Atau dalam formula Minang akan disebut: "nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah ". Maksudnya adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.
Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud, budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama, rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan, sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.

ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG
1 . Ancaman Dan Tantangan.

ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara hubungan kekerabatan menurut budaya - adat Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu. Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang. Dimasa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional. Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran (untuk isteri) bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada kewenangan Mamak Kepala Wans. Dan hubungan kekerabatan yang dipelihara untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman dan diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan, juga untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam kekerabatan tersebut.
Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan masyarakat Minangkabau. Dan nampaknya sejalan dengan ajaran Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan betapa pentingnya kebersamaan umat.
Hadits Nabi saw menyebutkan, “Barang siapa yang memisahkan dirinya dari jama'ah -walau-satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam dari lehernya. (HR Bukhari) .
Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko dalam berbagai tingkatan. Sejak yang dikucil dari pergaulan sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah, buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini, maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan adat akan dicabut.
Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan dan usaha) tentang sumber mata pencaharian, yang memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai, (negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non agrarisch lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang Minangkabau. Semula berdiam di rumah orang tua, akan berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang dibeli dengan hasil pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya.
Selain itu, peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-isterinya pun mengalami perubahan 180°. Semua suami, yang juga adalah mamak dalam kaumnya sudah akan (hampir) sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya, tidak lagi seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit), hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat) atas nama mereka masing-masing.
Perubahan-perubahan demikian, sekaligus juga merombak beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini berada pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan. Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi, sepanjang urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.
Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total, apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi, bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.
Bila kita melihat perjalanan hukum, telah berkali-kali kasus perkawinan dari mereka yang ber-sanak ibu (ibu mereka bersaudara handling), meskipun kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.
Lalu ada lagi sebutan: kok indak ameh di pinggang –dunsanak jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis, betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri. Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu ditempatkan pada posisi yang benar.
Secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian. Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan ada kemungkinan secara internal dan ekstemal.
Bila hanya dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim. Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah bagi yang belum mampu secara objektif, berhak menerima zakat sebagai fakir atau miskin.
Padahal semua kita tahu, baliwa Allah swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi pengemis.
Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau, haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi. Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.
Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu, secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.
Peluang
Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang - ba adat ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa iriang anakjo panyakik - sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas..
Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman, setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik ntndiang dinuinuangkan.
KESIMPULAN
A
dapun kesimpulan dari pendapat yang dikemukakan di atas, bahwa yang disebut Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak, pareso di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut budaya - adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian di sana-sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.
Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang juga disebut khalifah.
Dalam kata lain adalah subjek yang membentuk, bukan objek yang dibentuk.
Generasi masa kini punya kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:
Hendaklah takut pada azab dan kemurkaan Allah- semua mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik, kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik.










ADAT BASANDI SYARAK (ABS), SYARAK BASANDI KITABULLAH (SBK)
Mambangkik Batang Tarandam ABS-BSK Nan Batujuan Supayo Anak Nagari Minang Naknyo Jadi Pandai Manapiak Mato Padang, Indak Takuik Manantang Matoari, Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo
(Membangkitkan Kembali Kesadaran Kolektif Akan Nilai dan Norma Dasar
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Untuk Membangun Manusia dan Masyarakat Minangkabau Yang Unggul Dan Tercerahkan)

Setitik Sumbangan Pikiran:
ABS SBK MERUPAKAN BATU POJOK BANGUNAN MASYARAKAT MINANGKABAU YANG (DULU PERNAH) UNGGUL DAN TERCERAHKAN
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil kesepakatan (Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19) dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik bersenjata yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi emas” selama selama lebih satu abad berikutnya. Dalam periode keemasan itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin, baik dari kalangan alim ulama ”suluah bandang anak nagari” maupun ”cadiak pandai” (cendekiawan pemikir dan pemimpin sosial politik) yang berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional.
Mereka merupakan ujung tombak kebangkitan budaya dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke 20, serta dalam upaya memerdekakan bangsa ini di pertengahan abad 20. Sebagai kelompok etnis kecil yang hanya kurang dari 3% dari jumlah bangsa ini, peran kunci yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar dan elit pemimpin berbudaya asal Minangkabau telah membuat ”Urang Awak” terwakili-lebih (”over-represented”) di dalam kancah perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia ini. (Alhamdulillah, Minangkabau sebagai kelompok etnis kecil pernah berada di puncak piramida bangsa ini (”the pinnacle of the country’s culture, politics and economics”). Putera-puteri terbaik berasal dari budaya Minangkabau pernah menjadi pembawa obor peradaban (”suluah bandang”) bangsa Indonesia ini.
ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan tercerahkan. ABS-SBK dapat diibaratkan ”Surau Kito” tempat pembinaan ”anak nagari” yang ditumbuh-kembangkan menjadi ”nan mambangkik batang tarandam, nan pandai manapiak mato padang, nan bagak manantang mato ari, jo nan abeh malawan dunia urang, dan di akhiraik beko masuak Sarugo ”.
Namun, ”kutiko jalan lah di ubah urang lalu” dan ”lupo kacang di kuliknyo”, maka robohlah ”Surau Kito”. Dan beginilah sekarang nasib atau bagian peran yang berada di tangan etnis Minangkabau yaitu hanyalah sekadar ”nan sayuik-sayuik sampai” atau nyaris tak terdengar. Baa ko kini Baliau Angku Pangulu? Baa ko kini Buya kami? Baa ko kini Cadiak Pandai kami?
MASYARAKAT MADANI MINANGKABAU ADALAH MASYARAKAT YANG BERADAT DAN BERADAB
Kegiatan hidup masyarakat dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling mendasar adalah ”meta-environmental system” yaitu tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH). PDPH ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. PDPH ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal maupun informal.
Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama. (“humanly devised constraints on actions; rules of the game.”). PDPH merupakan pedoman serta petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. PDPH memberikan ruang (dan sekaligus batasan-batasan) yang merupakan ladang bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi serta karya-karya pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan.
PDPH masyarakat Minangkabau yang dahulu itu (1800-1950) melahirkan angkatan-angkatan “generasi emas” adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). ABS-SBK adalah PDPH yang menata seluruh kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang sesungguhnya.
Meta-environment yang dibentuk ABS-SBK sebagai PDPH membentuk lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan “macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan “anak nagari” Minangkabau. Dengan demikian setiap dan masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan. Maka dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Minangkabau (dahulu itu, 1800-1950) merupakan salah contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.
MASYARAKAT BER-ADAT YANG BERADAB HANYA MUNGKIN JIKA DILANDASI KITABULLAH
Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para filsuf dan pemikir Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau) meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya. Mereka telah menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana”. Konsep ”Adaik basandi ka mupakaik, mupakaik basandi ka alua, alua basandi ka patuik, patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami ”Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo” .
Adat Minangkabau dibangun di atas ”Peta Realitas” yang dikonstruksikan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”) yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato Pusako. Lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.
Sangat sedikit catatan sejarah dengan bukti asli/otentik tentang bagaimana sesungguhnya bentuk dan keberhasilan masyarakat Minangkabau di dalam menjalankan Adat yang bersendikan Nan Bana itu. Sejarah yang dekat (dua tiga abad yang silam) menunjukkan bahwa di dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Minangkabau banyak ditemukan praktek-praktek yang kontra produktif bagi perkembangan masyarakat seperti judi, sabung ayam dan tuak dan lain-lain. Sejarah sebelum ABS-SBK juga belum mencatatkan peran signifikan tokoh-tokoh berasal budaya Minangkabau yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.
Sebaliknya, sesudah ABS-SBK, terjadi semacam lompatan kuantum (”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kawasan ini. Bagaimana gejala itu bisa diterangkan?. Masyarakat Minangkabau pra-ABS-SBK adalah Masyarakat Ber-Adat yang bersendikan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Sebagai buah hasil dari konstruksi realitas lewat jalur kebahasaan, hasil penerapannya di dalam kehidupan masyarakat se-hari-hari tergantung kepada sejauh mana ”peta realitas” itu memiliki ”hubungan satu-satu” (”one-to-one relationship”) atau sama sebangun dengan Realitas yang sebenarnya (Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu).
Terterapkannya berbagai perilaku kontra-produktip oleh beberapa bagian masyarakat menunjukkan bahwa ada kekurangan serta kelemahan dari Adat Minangkakau Sebagai Peta Realitas serta Petunjuk Jalan Kehidupan Bermasyarakat itu. Kekurangan utama yang menjadi akar dari segenap kelemahan yang terperagakan itu adalah ada bagian dari Peta Realitas itu yang ternyata tidak sama sebangun dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu.
Kekurangan utama (Peta yang tidak sama sebangun dengan Realitas) itu melahirkan beberapa kekurangan. Kekurangan turunan pertama adalah Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan. Peta yang tidak dilengkapi dengan bagaimana menggunakannya secara memadai adalah tidak bermanfaat, malah dapat menyesatkan.
Kekurangan selanjutnya, tidak dilengkapinya Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas itu dengan Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan yang memadai. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kekurangan selanjutnya, Adat yang menjadi Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau tidak dapat diterapkan. Singkat kata, akar segala kekurangan serta sebab-musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta kurang-kememadai-an itu adalah ketiadaan “hubungan satu-satu” antara Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri atau Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu.

Peristiwa sejarah yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam dapat diibaratkan bagaikan “siriah nan kambali ka gagangnyo, pinang nan kambali ka tampuaknyo”. Dari Adat yang pada akhirnya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, disepakati menjadi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). Ketika Adat hanya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, ada yang kurang dan hilang dalam tali hubungan keduanya, yaitu antara Adat sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu yang kita urai-jelaskan tadi.
Dengan diproklamasikannya Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu dibuhul-eratkan kembali dengan Nan Bana, Nan Sabana-bana Nan Bana, Nan Sabana-bana Badiri Sandirinyo.

Kitabullah adalah Al-Quran. Al Qur’an mengurai-jelaskan segala sesuatu “tafshiila li kulli sya’iin” (Surat 12, Yusuf, ayat 111), atau dengan perkataan lain “Peta Realitas Lewat Kebahasaan” yang pasti memiliki hubungan satu-satu atau sama sebangun dengan Realitas itu (“al-haqqu min amri Rabbika”, Al Qur’an).
Al Quran adalah juga Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram. (“hudal linnaasi wa bayyinatin minal huda wal furqaan” Q.S 2, Al-Baqarah Ayat 184).

Penerapan Al-Qur’an yang merupakan Ajaran Allah menurut Teladan Nabi Muhammad s.a.w. (atau Sunnah Rasulullah) telah mentransformasikan masyarakat Jahiliyah empat belas abad yang lalu menjadi Pembawa Obor Peradaban. Selama tidak kurang tujuh dari abad, kebudayaan dan peradaban yang ditegakkan atas Ajaran Al Quran telah mendominasi Dunia Beradab.
Kekalahan dan keterpinggiran yang terjadi sampai hari disebabkan berbagai faktor yang utamanya karena meninggalkan ke dua panduan hidup itu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. (Taraktu fi kuum amraiin, Al Quran wa sunnaturarasuul,....... al hadith, ).
Itu pulalah yang tampaknya terjadi dengan Masyarakat Minangkabau ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”. Walau berada dalam lingkungan nasional dan internasional yang sulit penuh tantangan, yaitu zaman kolonialisme dan perjuangan melawan penjajahan, budaya Minangkabau yang berazaskan ABS-SBK telah terbukti mampu menciptakan lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.
Rentang sejarah itu membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.
KRISIS BUDAYA MINANGKABAU MERUPAKAN MINIATUR DARI KRISIS PERADABAN MANUSIA ABAD MUTAKKHIR
Budaya Minangkabau memang mengalami krisis, karena lebih dari setengah abad terakhir ini tidak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki peran sentral di dalam berbagai segi kehidupan di tataran nasional apatah lagi di tataran kawasan dan tataran global. Budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan.

Dalam satu sudut pandang, krisis budaya Minangkabau menggambarkan krisis yang dihadapi Ummat Manusia pada Alaf atau Millennium ke Tiga ini. Salah satu isu yang menjadi kehebohan Dunia akhir-akhir ini adalah isu Perubahan Iklim (“Climate Change”).
Perubahan Iklim telah dirasakan sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan / keberlanjutan keberadaan Umat Manusia di bumi yang hanya satu ini. Perubahan iklim disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia yang memengaruhi lingkungan sedemikian rupa sehingga mengurangi daya-dukungya sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan manusia.

Kemajuan ilmu yang dapat dianggap sebagai “Peta Alam Terkembang” telah menambah pemahaman manusia akan bagaimana bekerjanya alam semesta ini, sehingga “manusia mampu menguasai alam”. Penerapan ilmu dalam berbagai teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk memanfaatkan alam sesuai berbagai keinginan manusia.
Terjadinya Perubahan Iklim menunjukkan bahwa “penguasaan manusia terhadap alam lingkungan” telah menyebabkan perubahan yang tidak dapat balik (“irreversible”) terhadap alam itu sendiri. Dan ternyata, Perubahan Iklim sangat mungkin mengancam keberadaan manusia di muka bumi ini.

Dari sisi kemanusiaan, ada beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, mungkin Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang tidak mampu memperkirakan terlebih dahulu apa yang sekarang telah menjadi Perubahan Iklim yang tidak dapat balik itu. Dengan perkataan lain Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang ternyata tidak sama dengan Realitas Di Alam Nyata. (Artinya ada “batas Ilmu”, yaitu wilayah dimana “ignora mus et ignozabi mus”, kita manusia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu atau memiliki ilmu tentang itu.
Kemungkinan kedua, para ilmuwan telah “lebih dahulu memahami apa yang bakal terjadi”, namun tidak memiliki ilmu yang dapat diterapkan untuk merubah perilaku manusia dan masyarakat. Jadi, Peta Ilmuwan tentang Manusia dan Masyarakat tidak sama dengan Realitas Di Dalam Diri Manusia Dan Masyarakat. Singkat kata, apa yang ada dalam benak manusia moderen (baik ilmu maupun isme-isme) yang menjadi kesadaran kolektif yang secara keseluruhan membentuk Pandangan Dunia dan Pandang Hidup (PDPH) mereka ternyata tidak sama sebangun dengan Realitas. Dengan begitu, ketika PDHP itu menjadi acuan perilaku serta kegiatan perorangan dan bersama-sama, tentu saja dan pasti telah membawa kepada bencana, antara lain, berupa Perubahan Iklim yang kemungkinan besar tidak dapat balik itu.
Manusia moderen sangat berbangga dengan berbagai isme-isme yang dikembangkannya serta meyakini kebenarannya di dalam memahami manusia serta mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kapitalisme, liberalisme dan isme-isme lain telah menjadi semacam berhala yang dipuja serta diterapkan dalam kehidupan masyarakat di kebanyakan belahan Dunia. Hasil penerapan isme-isme itulah yang sekarang memicu berbagai krisis global di Millennium atau Alaf Ketiga ini.
Jika kita merujuk kepada Kitabullah, yaitu Al-Qur’an, kita akan menemukan gejala dan sebab-sebab dari Perubahan Iklim yang mendera Umat Manusia. Salah satu ayat Al-Qur’an menyatakan: “.....Telah menyebar kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia” .
Perilaku manusia-lah penyebab semua kerusakan itu.
Dan penyebab perilaku merusak manusia ialah penyembahan berhala, berupa ilmu ataupun isme-isme yang ternyata tidak memiliki hubungan satu-satu dengan kenyataan di alam semesta termasuk di dalam diri manusia dan masyarakat. Salah satau ayat dalam Al-Qur’an Surat 12, Yusuf , Ayat 40, sebagai berikut
         •                       ••  
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Keyakinan, yang tidak berdasar, akan kebenaran isme-isme itulah yang dapat digolongkan sebagai berhala berupa semacam pemujaan oleh manusia moderen. Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menguji kesebangunan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sesungguhnya ada dalam Realitas.
Isme-isme itu serta keyakinan berlebihan akan keampuhan Ilmu hasil pemikiran manusia hanyalah sekadar ” nama-nama yang dibuat-buat saja” atau sama dengan khayalan manusia saja. Dan, disebutkan dalam Al-Quran bahwa jenis manusia yang demikian telah “mempertuhan diri dan hawa nafsunya”.
Dengan keterbatasan itu bagaimana manusia mungkin meneruka jalan keselamatan di alam semesta paling tidak dalam menjalani kehidupan di Dunia ini? Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia tidak ditinggalkan di dalam kebingungan. Diturunkanlah para Rasul dengan membawa Kitab Suci, yang paling terakhir Al Qur’an sebagai Peta Realitas serta Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram dalam menjalani hidup di bumi yang fana ini.
Simpulannya, krisis global yang dihadapi manusia moderen disebabkan karena kebanyakan mereka mempercayai apa yang tidak layak diyakini berupa isme-isme karena mereka telah menuhankan diri dan nafsu mereka sendiri. Kebanyakan manusia moderen telah menjauh dari agama langit, bahkan dari agama itu sendiri, dalam pikiran apalagi dalam perbuatan dan kegiatan mereka.
Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi masyarakat Minangkabau di abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan
MASYARAKAT UNGGUL DAN TERCERAHKAN MAMPU MENCETAK SDM UNGGUL YANG TERCERAHKAN YAITU PARA ULUL ALBAAB.
Siapakah manusia unggul yang tercerahkan itu. Barangkali konsep yang menyamai serta t digali dari Al-Qur’an adalah para “Ulul Albaab”. Dalam Surat Ali Imran, Surat ke 3, Ayat 190 s/d 194 , disebutkan sebagai berikut
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(3:190).(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(3:191).Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.(3:192).Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.(3:193)Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."(3:194)

Bagi para “uluul albaab” seluruh gejala di alam semesta ini merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan sesuatu yang merujuk kepada yang lain di luar dirinya. Menjadikan gejala sebagai tanda berarti membuat makna yang berada disebalik tanda itu.
Misalnya, kalau kita memperhatikan bahwa bulan menyajikan berbagai bentuk di langit pada malam hari – mulai dari garis lengkung putih berangsur jadi bulan sabit, akhirnya jadi bulan purnama untuk kembali lagi mengecil – kita sebagai makhluk yang memiliki keingin-tahuan yang besar akan bertanya:”Kenapa demikian? Apa yang membuatnya demikian? Bagaimana prosesnya?”. Proses menjawab pertanyaan itu disebut berpikir yang terarah.
Hasil berpikir adalah pikiran tentang sebagian dari kenyataan. Dengan perkataan berpikir akan menghasilkan semacam “peta bagian kenyataan” yang dipikirkan. Hikmah yang dikandung Al-Qur’an hanya dipahami oleh “ulul albaab” yaitu mereka yang mau berpikir dan merenungkan secara meluas, mendalam tentang apa yang perlu dan patut dipahami dengan maksud agar mengerucut kepada beberapa simpulan kunci.
Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di dalam dirinya zikir dan fikir menyatu. Zikir disini bukan sekadar mengingat Allah s.w.t dengan segala Asmaul-Husna-Nya, tapi harus dipahami lebih luas sebagai hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah s.w.t dengan segenap aspek hubungan-Nya dengan manusia dan segenap makhluk Ciptaan-Nya.
Fikir berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran Allah s.w.t. sebagaimana diurai-jelaskan oleh Al-Qur’an serta ditafsirkan dan diterapkan oleh Rasullullah lewat Sunnahnya sebagai Teladan Utama (Uswatun Hasanah).
Simpulannya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah.
Hanya dengan demikianlah, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan sosial-budaya yang akan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan yang berintikan para “ulul albaab” sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat.
Manusia seperti itulah barangkali yang dimaksudkan oleh Kato Pusako “Nan Pandai Manapiak Mato Padang, Nan Indak Takuik Manantang Matoari, Nan Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo“.

Wallahu’alaam bissawaab
Hanya dari Allah berasal semua kebenaran




GAMBARAN BUDAYA MINANGKABAU
SEBELUM DAN SESUDAH ABS-SBK

Usulan bagi Satu Pendekatan

Sebelum peristiwa Piagam Sumpah SatieBukik Marapalam, budaya Minangkabau dapat digambarkan lewat diagram di bawah ini.



Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui dan memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo termasuk Alam Terkembang yang menjadi Guru. Dari pemahaman bagaimana Alam Terkembang bekerja, termasuk di dalam diri manusia dan masyarakatnya, direndalah Adat Minangkabau. Konsep dasar Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) kemudian menjadi kesadaran kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) manusia dan masyarakat Minangkabau. Di samping itu, pengaruh kepercayaan lama serta Hindu dan Budha telah mewarnai tata-cara dan praktek penyembahan yang kita belum memiliki catatan yang lengkap tentang itu.

Konsep dasar PDPH (Adat Nan Sabana Adat) itu diungkapkan lewat Bahasa, terutama Bahasa Lisan (Sesungguhnya Minangkabau pernah memiliki tulisan berupa adaptasi dari Huruf Pallawa dari India (pengaruh agama Hindu/Budha). Keseluruhan pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang berisikan gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai Kato Pusako. Kato Pusako itu yang kemudian dilestarikan secara formal lewat pidato-pidato Adat dalam berbagai upacara Adat. Sastera Lisan juga merekam Kato Pusako dala kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, dll.

PDPH Masyarakat Minangkabau juga diungkapkan seni musik (saluang, rabab), seni pertunjukan (randai), seni tari (tari piriang), dan seni bela diri (silek dan galombang). Benda-benda budaya (karih, pakaian pangulu, mawara dll), bangunan (rumah bagonjong)
serta artefak lain-lain mengungkapkan wakil fisik dari konsep PDPH Adat Minangkabau. sehingga masing-masing menjadi lambang dengan berbagai makna.

Konsep PDPH yang merupakan inti Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) memengaurhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, yang lebih dikenal sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat.

Peristiwa yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam telah merubah konstruksi gagasan dasar dan penerapannya dalam Adat Minangkabau. Tampaknya dahulu itu tekah terjadi asimilasi (atau pemesraan) yang cukup padu antara Islam dengan Kitabullah serta Adat Nan Sabana Adat (Konsep Dasar Adat sebagai PDPH) yang selanjutnya memengaruhi Adat Nan Taradat dan Adat Istiadat.


ABS-SBK sekarang menjadi konsep dasar Adat (Adat Nan Sabana Adat) diungkapkan, antara lain lewat Bahasa, yang direkam sebagai Kato Pusako. ABS SBK memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat.

Barangkali langkah yang perlu kita lalui adalah:
1) Kompilasi
2) Kategorisasi
3) Kajian:
1. Tema
2. Aspek kehidupan perorangan
3. Aspek-aspek kehidupan masyarakat
4. Simpulan: Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup Dasar Masyarakat
(Bagaimana Adat Minangkabau menyatu-padukan aplikasinya dengan Kitabullah atau bagaimana Islam diamalkan dalam konteks budaya Minangkabau)
H Mas’oed Abidin, Padang , 7 April 2008

Sumber : http://www.scribd.com/doc/3611582/Minangkabau-dan-Sistem-Kekerabatan?