Jumat, Desember 24, 2010

Indonesia masa depan :Masa Depan Keberagamaan

Kendati wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ‘keyakinanku’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Itulah problem kehidupan beragama di Indonesia yang masih banyak jumlahnya dan semakin hari justru menunjukkan peningkatan. Kita menyadari untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersamasama antarpemeluk dengan semangat toleransi tinggi masih menghadapi tantangan yang tidak kecil. Tantangan Egoisme-Praktik-Toleransi dan saling menghormati di lapangan tidak semudah kata-kata.

Bahkan pada sebagian yang sering mengucapkan toleransi sekalipun, belum tentu memiliki pemahaman yang mendalam tentang makna toleransi dan siap berbeda di tengah masyarakat. Rasa keakuan dan egoisme sering kali mengalahkan keinginan untuk menciptakan keragaman dan kebersamaan. Akibatnya, begitu banyak pelanggaran kebebasan beragama. Toleransi begitu mudah dicede rai. Korbannya adalah golongan minoritas.

Survei yang diadakan SETARA Institute akhir tahun ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelanggaran terjadi di kota-kota besar, misalnya Jakarta dan di pinggiran lainnya seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Kekerasan begitu sering terjadi yang mengatasnamakan agama. Dari salah satu temuan survei tersebut dapat disimpulkan bahwa toleransi masyarakat Jabodetabek terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan relasi sosial, seperti berteman, bertetangga, dan mengikuti perkumpulan.

Justru dalam relasi-relasi yang lebih privat— seperti anggota keluarga menikah dengan orang lain yang beda agama dan anggota keluarga yang pindah ke agama lain—warga Jabodetabek memperlihatkan kecenderungan intoleran. Mereka pada umumnya merasa keberatan adanya kemungkinan semacam itu. Yang menarik, kaitannya dengan sejauh mana makna toleransi ini diterapkan masyarakat, diketahui bahwa warga Jabodetabek merasa keberatan jika di dekat tempat tinggalnya terdapat rumah ibadah dari umat agama lain.

Rumah ibadah dari agama lain yang berlokasi tidak jauh dari tempat tinggal rupanya masih menjadi persoalan sensitif bagi warga Jabodetabek. Di sisi lain, mereka juga menolak adanya kebebasan bagi setiap umat beragama— setidaknya untuk umat beragama lain— untuk mendirikan rumah ibadah. Lebih dari itu, terhadap kelompok Ahmadiyah misalnya, keberadaan agama lain di luar yang diakui negara dan orang-orang yang tidak memiliki agama, sifat intoleran tampaknya juga cukup kuat mewarnai sikap warga.

Dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Membumikan toleransi gairah beragama yang tinggi tidak selalu memiliki pengertian setara dengan semangat beragama yang hakiki, yakni untuk mengubah cara hidup yang lebih manusiawi. Sudah sering umat beragama kehilangan visi dan perspektif hidup. Mereka juga kehilangan kemampuan untuk berkontak dengan Tuhan. Inilah yang paradoks dalam kehidupan beragama saat ini. Kehidupan menjadi kontraproduktif karena gairah beragama tak lagi menjadi bagian dari perubahan laku.

Sudah semestinya kini dialog agama dan pendidikan toleransi lebih ditajamkan lagi ke dalam sebuah dialog yang mementingkan saling berbagi melalui pengalaman. Dialog agama bukan semata-mata sekadar berkunjung dan bercakap-cakap formal belaka. Melainkan belajar untuk berempati dan melakukan apa yang sering disebut sebagai passing over, ialah menyelami yang lain dan yang berbeda. Dari sana diharapkan toleransi tumbuh lebih membumi dan bisa dipraktikkan di lapangan dalam kondisi apapun.

Tugas Negara Pemahaman agama yang substantif demikian bukan berarti menegasikan aspek formalitas agama. Agama dalam pengertian formal justru menjadi simbol pembeda untuk bisa saling memahami satu sama lain. Itu menandakan adanya suatu kebhinekaan ketika masing-masing memiliki hak dan kewajiban, dan salah satu kewajiban yang perlu ditekankan adalah aspek penghargaan terhadap eksistensi lainnya.

Bila toleransi, khususnya oleh negara dan aparatusnya, hanya dipahami dalam makna yang sangat sempit, mereka akan kesulitan berhadapan dengan berbagai fakta di lapangan. Akibatnya interpretasi terhadap peraturan hanya didasarkan pada aspek-aspek formal dan menguntungkan diri belaka. Semestinya dalam kondisi demikian, negara justru memiliki kewajiban utama untuk memberikan perlindungan terhadap minoritas tanpa mengabaikan hak-hak keberagamaan umumnya.

Negara wajib bersikap di tengah-tengah dan objektif agar keberadaannya lebih bisa dihargai. Faktanya, turut campur negara dan aparatusnya selama ini lebih sering dilihat sebagai ‘mengganggu’ daripada melindungi. Alih-alih melindungi, yang terjadi justru ikut bersama-sama melemahkan keragaman serta menindas yang kecil.

Terjadi ketidakadilan yang begitu parah dalam berbagai segi kehidupan bangsa ini, termasuk dalam kehidupan beragama. Mereka yang minoritas merasa sudah tak ada lagi tempat untuk berlindung menghadapi situasi yang sulit. Mereka tak henti mempertanyakan keanehan-keanehan yang terjadi pada sebuah bangsa yang menyatakan diri sebagai bangsa berbinneka tunggal ika.

Berbagai kekerasan antar pemeluk aneka tradisi keagamaan, manipulasi agama untuk tujuan politis, diskriminasi atas dasar etnisitas atau identitas religius, perpecahan dan tegangan sosial kini menjadi masalah yang begitu serius. Sadarkah? Dan siapkah kita menghadapinya?
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=69449

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=69449

Kumpulan artikel Indonesia masa depan

KOMPAS
Sabtu, 19 Agustus 2006



Masa Depan Indonesia


Siswono Yudo Husodo

Di sekitar tanggal 17 Agustus adalah waktu yang tepat untuk melakukan
kontemplasi, tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan negara kita.

Sebelum kemerdekaan, 90 persen rakyat Indonesia buta huruf latin. Tidaklah
mudah bagi para Perintis Kemerdekaan dan Angkatan 45 untuk mengajak rakyat
dengan tingkat pendidikan yang begitu rendah agar sadar akan haknya untuk
merdeka. Kondisi itu mengharuskan Bung Karno dan para pemimpin politik di masa
itu, dalam mensosialisasikan gagasan kemerdekaan, menggunakan ungkapan yang
mudah dipahami rakyat.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemerdekaan dijanjikan akan menjadikan negeri
ini gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto rahardjo, subur kangsarwo
tinandur, murah kang sarwo tinuku, (semua serba makmur, sejahtera, aman,
tertib, dan teratur). Di daerah lain dikembangkan gambaran serupa. Keberhasilan
meyakinkan rakyat telah membentuk tekad rakyat untuk "Merdeka atau Mati",
menjadikannya kekuatan besar yang mampu mengusir penjajah yang memiliki
persenjataan yang hebat.

Maju lebih cepat

Indonesia mengawali kemerdekaan negara-negara baru setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Lebih dari 30 negara baru di Asia dan Afrika berjuang merebut
kemerdekaannya terinspirasi oleh keberhasilan Indonesia. Sejak merdeka, kita
telah mencapai banyak kemajuan; tetapi banyak negara lain maju lebih cepat
sehingga relatif kita tertinggal. Untuk menyebut beberapa di antaranya; di
bidang pendidikan, Malaysia yang dulu meminta guru-guru Indonesia mengajar di
sana, sekarang memiliki sistem, sarana, dan mutu pendidikan yang lebih baik
dari kita.

Dalam bidang sepak bola, Jepang dan Australia, 15 tahun yang lalu sulit
mengalahkan PSSI, sekarang telah ikut final 32 negara terbaik di Jerman,
sementara kita kesulitan untuk menjadi juara di tingkat ASEAN. Prof Jeffrey
Sach, ekonom AS, memberikan perbandingan yang menarik. Di tahun 1984, ekspor
Indonesia 4 miliar dollar AS dan ekspor China 3 miliar dollar AS. 20 tahun
kemudian, di tahun 2005, ekspor Indonesia meningkat menjadi 70 miliar dollar AS dan ekspor China mencapai 700 miliar dollar AS. Di bidang pembangunan jalan tol, Indonesia memulai 10 tahun lebih dulu dari Malaysia dan 12 tahun lebih dulu dari China. Sekarang total panjang jalan tol di Malaysia 6.000 km, di China 90.000 km, dan di Indonesia baru 630 km.

Impian tentang negara yang sejahtera dan tertib juga belum menjadi kenyataan,
dan sebagian masyarakat tampak gamang akan masa depan Indonesia. Di luar negeri
juga banyak analisis tentang masa depan Indonesia dengan bermacam pendekatan,
di antaranya ramalan bahwa negara kita akan mengalami disintegrasi seperti Uni
Soviet dan Yugoslavia. Kajian Jared Diamond dalam buku Collapse di tahun 2005
meramalkan kehancuran Indonesia.

National Intelligence Council's (NIC's), organ Pemerintah Amerika Serikat (AS),
pada tahun 2005 mengekspos kajian Rising Powers: The Changing Geopolitical
Landscape 2020. Menurut telaahan tersebut, di tahun 2020 Indonesia bersama
China, India, Afrika Selatan, dan Brasil adalah negara-negara yang pengaruhnya
semakin meningkat. Argumennya, ekonomi Indonesia akan tumbuh 6-7 persen per
tahun selama satu setengah dekade mendatang, dengan populasi sekitar 250 juta
jiwa. Dari sisi populasi, Indonesia perlu memanfaatkan "bonus demografi"
setelah tahun 2015 selama satu generasi. Pada masa itu, age dependency ratio,
yaitu proporsi penduduk muda dan tua terhadap penduduk usia kerja menurun, yang
kondusif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pada waktu ini, semua bangsa bekerja keras, meningkatkan kesejahteraan warganya
dengan kecerdikan dan pandangan yang jauh ke depan, karena tinggi rendahnya
martabat suatu bangsa semakin diukur dari tingkat kesejahteraannya. Bank Dunia
baru-baru ini mengumumkan bahwa pada tahun 2005, PDB China 2,2638 triliun
dollar AS menjadikannya negara dengan ekonomi terbesar keempat dunia, menggeser
Inggris. Di urutan pertama AS, diikuti Jepang dan Jerman.

Goldman Sach, sebuah lembaga konsultan bisnis memperkirakan PDB China akan
melampaui Jerman di tahun 2010, melampaui Jepang di tahun 2015, dan melampaui
AS pada tahun 2040. Juga dilaporkan, PDB India akan mengalahkan Italia di tahun
2015, mengalahkan Perancis di tahun 2020, dan mengalahkan Jerman di tahun 2025.
Di tahun 2040, China dan India akan tampil sebagai kekuatan terbesar ekonomi
dunia. Pusat ekonomi dunia tidak lagi di Eropa atau Amerika, tetapi di Asia.
Ekonomi Asia tumbuh bertahap sejak melejitnya Taiwan, Korea Selatan, Singapura,
Malaysia, dan Thailand.

Indonesia sepatutnya memberi andil yang signifikan dalam tampilnya Asia sebagai
pusat perekonomian dunia, mengingat modal amat besar yang kita miliki.

Keunggulan komparatif

Banyak hal harus dilakukan untuk mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan
bersatu. Untuk tipologi negara kita, perlu dimanfaatkan pasar domestik yang
amat besar, dipadukan dengan keunggulan komparatif yang kita miliki di sektor
pertambangan, perikanan, perkebunan, kehutanan, pertanian, peternakan, dan
pariwisata.

Optimisme mengenai masa depan Indonesia dan semangat kemandirian juga perlu
ditumbuhkan, untuk menjadi pendorong membangun negara yang sejahtera.

Modal utama yang harus hadir adalah negara yang mantap terintegrasi; dengan
dinamika internal yang semakin menyatukan masyarakat, dan bila terjadi friksi
sosial, penyelesaiannya menempuh jalan yang damai dan santun.

Jangan mengembangkan benih-benih konflik yang tak bermanfaat bagi masa depan
kita.

Sukses suatu bangsa adalah buah kerja keras yang cerdas terarah. Amerika
Serikat yang di masa lalu mampu memprediksi kebutuhan dunia akan teknologi
informasi (TI), melakukan persiapan yang matang di lembaga-lembaga pendidikan
dan ekonominya; sekarang menikmati posisi sebagai pemasok utama kebutuhan TI
dunia. India sukses dengan pembangunan yang bertema Pro-People, dengan tingkat
pemerataan yang tinggi dan kemandirian yang besar. Rakyat India memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, dari makanan, pakaian, mobil, traktor, pesawat
tempur, dan lain-lain, buatan India sendiri, walau kurang bagus. Kondisi itu
menumbuhkan kegiatan ekonomi yang besar. China tahun 2006 sangat berbeda dengan
China tahun 1960-an, walau tetap menyatakan dirinya negara komunis, mengambil
langkah-langkah yang paradoksal dengan konsep komunis, tanpa menimbulkan
gejolak yang mengindikasikan kematangan masyarakatnya.

Banyak pula negara yang harus menggali sumber daya ekonominya dengan
mengorbankan hal-hal yang mendasar, seperti Malaysia yang negara Islam, membuka perjudian yang semarak di Genting Highland, untuk membiayai pembangunan
negaranya.

Nyatalah bahwa setiap negara begitu cermat memanfaatkan peluang ekonomi yang
ada. Di Indonesia, beberapa peluang bisnis yang ada dirusak oleh sekelompok
orang seperti dalam sektor pariwisata dengan beberapa kali pengeboman. Beberapa usaha yang ditangani negara salah urus dan malah membebani keuangan negara. Kita semua memang perlu menjadi semakin dewasa untuk sesuai kapasitas, kewenangan dan kompetensinya membuat Indonesia menjadi lebih maju, lebih sejahtera, dan lebih baik.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila


Kepemimpinan Indonesia Masa Depan: Perpaduan Timur dan Barat Gaya China
Indonesia mengalami krisis multidimensi sampai detik ini. Krisis tersebut mendera berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, budaya, sains, kesehatan, dan kemanusiaan. Seakan tidak ada jalan keluar dari semua krisis tersebut. Adapun salah satu krisis yang paling nyata kita hadapi adalah krisis kepemimpinan.
Kita mengalami kegamangan dalam memilih tipe kepemimpinan yang tepat untuk negeri kita yang tercinta. Ada sebagian intelektual, yang menganjurkan ‘westernisasi’, yaitu secara total mengikuti gaya kepemimpinan Amerika Serikat atau Eropa. Ada juga sebagian yang merasa panik dengan gelombang globalisasi dan westernisasi, dan memilih berlindung di balik jubah primordialisme, entah berbasis agama, etnis, atau ras. Jaman sekarang, seakan-akan suri teladan dari founding father kita, yaitu Soekarno-Hatta, untuk memadukan timur dan barat seakan sudah dilupakan. Era globalisasi mengharuskan kita melakukan redefinisi mengenai makna kepemimpinan. Bukan bersandar pada romantisme masa lalu semata, namun juga bukan semata melakukan imitasi buta.
Kilas Balik Kepemimpinan Dunia
Soekarno-Hatta hidup di era, dimana terjadi kebangkitan ekonomi/politik Asia. Pada tahun 1904-1905, armada angkatan laut Jepang berhasil mengalahkan armada Rusia.Dalam pertempuran laut tersebut, armada Jepang menggunakan meriam dan kapal yang lebih berkualitas daripada milik Rusia. Kemudian, Pasukan Ottoman Turki berhasil mengalahkan Pasukan Inggris/Australia/Selandia Baru dalam pertempuran Gallipoli tahun 1916, setelah bertempur selama delapan bulan. Dalam pertempuran tersebut, Kemal Attaturk menjadi salah satu komandan lapangan yang berperan. Karena Inggris kalah dalam pertempuran tersebut, kepala staf angkatan laut Inggris, Sir Winston Churcill, mengundurkan diri.
Kemudian, dalam perang kemerdekaan Turki tahun 1922 yang dipimpin Attaturk, Pasukan Yunani dan sekutu berhasil diusir dari Turki. Fakta tersebut menyadarkan Soekarno-Hatta, bahwa sebenarnya Asia sejajar dengan eropa dalam semua segi. Fakta sejarah itulah yang menjadi bibit dari Nasionalisme Indonesia. Satu hal yang ditekankan dalam cerita ini, adalah para founding father kita menjadikan dinamika sosio-politik di Asia sebagai fondasi mereka dalam melakukan aktivitas politik melawan imperialisme.
Latar Belakang Kebangkitan Ekonomi dan Politik China
Namun jaman sudah berubah. Asia mengalami dinamika sosio-politik yang berbeda daripada masa sebelumnya. Setelah selama puluhan tahun Sosio-Ekonomi Asia didominasi oleh Jepang, akhirnya China bangkit sebagai superpower baru. Pada tahun 1960an, China adalah negara miskin, yang didera bencana kelaparan dengan korban puluhan juta penduduknya meninggal.
Ironis sekali, karena pada tempo yang sama, pemerintah China berhasil menguji coba senjata nuklir miliknya. Revolusi kebudayaan tahun 1966 telah mengakibatkan banyaknya korban jatuh di kalangan intelektual mereka. Namun akhirnya terjadi perubahan kepemimpinan. Pada tahun 1979, seorang intelektual yang mengenyam pendidikannya di Perancis, Deng Xiaoping, akhirnya menjadi pemimpin tunggal China.
Program Deng adalah melakukan reformasi ekonomi, untuk membebaskan China dari kemiskinan. Kapitalisme diperbolehkan beroperasi kembali. Deng memperbolehkan hal tersebut, karena menghapuskan pasar di China, seperti yang dilakukan Mao Tse Tung dimasa lalu, adalah hal yang absurd. Mengaplikasikan Sosialis-Komunis Ortodoks di China, adalah tidak mungkin, mengingat bahwa berdagang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya China. Program ekonomi Deng adalah menciptakan kelas menengah baru, dimana nantinya mereka akan membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Deng berharap agar kelas menengah baru tersebut dapat menjadi motor utama ekonomi China.
Popularitas China
Reformasi Deng berjalan dengan sukses, terbukti bahwa setelah 25 tahun program reformasi ekonomi, telah lebih dari 200 juta penduduk China keluar dari garis kemiskinan. Diharapkan dalam 25 tahun kedepan, akan lebih banyak penduduk China yang keluar dari belitan kemiskinan. Satu hal yang tidak diketahui banyak orang, Deng Xiaoping, sebagai intelektual didikan Perancis, sangat percaya dengan prinsip demokrasi. Secara diam-diam, China mengaplikasikan demokrasi di tingkat perdesaan/kelurahan, dimana di tingkat itu rakyat China diperbolehkan memilih secara langsung pemimpinnya. Deng percaya bahwa demokrasi harus diaplikasikan secara gradual, tidak secara langsung atau taken for granted.
Dengan diperbolehkannya kapitalisme beroperasi, perdagangan China maju pesat. Shanghai dan Hong Kong menjadi pusat perdagangan Asia (bahkan Dunia). Bukti tak terbantahkan bahwa reformasi ekonomi Deng sukses, adalah posisi China sebagai negara dengan uang devisa terbanyak di dunia. Jepang berada di posisi kedua. China juga menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia, dengan angka selalu diatas 10 persen.
Diramalkan oleh sebagian pengamat, bahwa pada dekade mendatang China akan menjadi Ekonomi nomor satu di dunia, menyalib Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman sekaligus. China juga tetap memiliki angkatan bersenjata yang paling besar dan terkuat di Asia. Pernah diadakan poling oleh sebuah lembaga independen, negara asing apa yang paling populer di Uni Eropa. Ternyata negara yang paling populer adalah China.
Tapi popularitas ini tak berjalan lancar sebab negara lain merasa tersaingi. Apa saja upaya menjegal kesuksesan China ini? Nantikah dalam tulisan selanjutnya.
Referensi:
Encyclopedia Wikipedia http://www.en.wikipedia.org

PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
PENDAHULUAN

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik

Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.

Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.

Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.

Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.

Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.

Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.

http://pakguruonline.pendidikan.net/wacana_pdd_frameset.html


MASA DEPAN PENDIDIKAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
matakuliah_pfisika
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping melalui organisasi po1itik, perjuangan ke arah kemerdekaan per1u dilakukan melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu didirikan pula lembaga-lembaga pendidikan umum nasional seperti taman siswa dan lembaga-lembaga pendidikan swasta lainnya.
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau dengan cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia ditutut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya. Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori,yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Diantara permasalahan internal yaitu membahas sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk membangun struktur dan strategi pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia, terutama dilihat dari segi konsepsi serta tujuan yang ingin dikejar, prinsip-prinsip yang melandasinya, serta strategi atau upaya-upaya nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Di samping itu, realisasi serta praktek pelaksanaannya di lapangan juga dibahas serta persoalan-persoalannya di identifikasikan da1am usaha untuk menemu kan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, dapat ditarik beberapa pokok permasalahan untuk dianalisis dan dikaji di dalam makalah ini. Pokok permasalahanya adalah:
1. Bagaimanakah permasalahan-permasalahan pendidikan Indonesia saat ini?
2. Bagaimana solusi yang tepat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi?
3. Permasalahan-permasalahan yang dimaksud adalah :
v Mutu, pemerataan pendidikan ,motivasi
v Profesionalisme guru
v Sistem pembelajaran
v sumber dana dan sumber daya
v Permasalahan dan tantangan globalisasi
v Perubahan sosial
C.TUJUAN
Makalah ini akan membahas tentang beberapa masalah pendidikan kontemporer yang terjadi saat ini. Tujuan penulisan dari makalah ini diantaranya : sebagai referensi kalangan pendidikan dalam mengevaluasi kinerja pendidikan selama ini,
1. mengetahui dibalik sitem pendidikan yang sudah diterapkan dari masa kemerdekaan ternyata masih terdpat permasalahan yang kompleks,
2. menarik pembaca agar peduli terhadap pendidikan, memunculkan pemikiran- pemikiran kreatif dalam memecahkan permasalahan pendidikan, dan
3. sebagai persyaratan lomba pemilihan model Pak Harfan dan Bu Mus FKIP UNS.
D. MANFAAT
Pembahasan dalam makalah ini disesuaikan dengan permasalahan yang telah diungkapkan dalam perumusan masalah disertai tinjauan pustaka dari berbagai sumber sehingga makalah ini mempunyai kekutan pembahasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Manfaat makalah ini antara lain :
1. acuan dalam membahas permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia,
2. memperluas wacana tentang permasalahan pendidikan dan solusi pemecahanya,
3. mengantisipasi dan menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Sistem Pendidikan Nasional
A. Definisi
Tidak begitu mudah untuk memberikan suatu definisi yang memadai mengenai sistem pendidikan nasional. Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep tentang pendidikan nasional. Perlu pula disadari bahwa konsep me-ngenai pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang me-landasinya seperti yang biasanya tersurat dan juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang Dasar, Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 yang merupakan produk perta-ma undang-undang pendidikan dan pengajaran sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan definisi tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan na-sional, maupun konsep sistem pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya yang ditulis oleh Mr. Muhd. Yamin, Menteri Pendidikan, Penga-jaran dan Kebudayaan pada waktu itu, dikemukakan bahwa pendidikan nasi-onal merupakan landasan pembangunan masyarakat nasional, yaitu masya-rakat yang berkesusilaan nasional. Oleh karena itu, sistem pendidikan dan pe-ngajaran lama secara berangsur-angsur harus digantikan dengan sistem pendi-dikan dan pengajaran nasional yang demokratis. Memang dapat dimak1umi, bahwa pada masa-masa itu konsep dan gagasan pendidikan nasional meru-pakan reaksi dari sistim pendidikan kolonial yang bersifat diskriminatif dan elitis.
Pengertian yang 1ebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan na-siona1 dan sistem pendidikan nasiona1 dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai “Usaha sadar dan terencana un-tuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” ( Pasal 1, ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai “pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” (pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan demikian, sistem (pendi-dikan nasiona1 dapat dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Unsur-unsur Pokok Sistem Pendidikan nasional
Kazik (1969:1) mendefinisikan sistem sebagai “organisme yang diran-cang dan dibangun strukturnya secara sengaja, yang terdiri dari komponen-kumponen yang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain yang harus berfungsi sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditetapkan sebelumnya”. Suatu sistem memiliki tiga unsur pokok: (1) tujuan, (2) isi atau komponen, dan (3) proses. Kalau pendidikan nasional kita benar-benar merupakan suatu sistem, maka ia setidak-tidaknya memiliki tiga unsur pokok tersebut. Di samping itu, komponen-komponen sistem tersebut harus berhubungan dan berinteraksi secara terpadu. Suatu sistem (termasuk sistem pendidikan) dibangun dengan maksud untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Sistem dibangun dari komponen-komponen dan kom-ponen-komponen bagian yang semuanya itu membentuk isi suatu sistem sebagai piranti untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Mekanisme dan prosedur beroperasinya serta berfungsinya komponen-komponen suatu sistem dalam upaya mewujudkan tujuan sistem merupakan proses sistem tersebut.
1) Tujuan Pendidikan Nasional
Apa tujuan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan nasional?. Kalau pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional, maka pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan sistem pendidikan pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, karena pendidikan pada masa penjajahan secara formal tidak berakar pada kebudayaan nasional dan tidak berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional harus dicari dari dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan.
Sejak proklamasi kemerdekaan, tujuan pendidikan telah mengalami beberapa kali perubahan, mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada masa-masa tersebut misalnya, pada masa permulaan kemerdekaan, tujuan pendidikan terutama berorientasi pada usaha “menanamkan jiwa patriotisme” (S.K. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 104/Bhg. 0, tanggal 1 Maret 1946}, karena pada masa itu negara ingin menghasilkan patriot bangsa yang rela berkorban untuk negara dan bangsa. Dengan semangat tersebut diharapkan kemerdekaan bisa dipertahankan dan dengan semangat itu pula kemerdekaan akan diisi.
Dengan keluarnya Undang-undang No. 4 Tahun 1950, rumusan tujuan pendidikan dan pengajaran mengalami perubahan. Pasal 3 undang-undang tersebut menetapkan bahwa “tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Tekanan tampaknya diletakkan pada pembentukan warga negara yang demokratis dan warga negara yang bertanggung jawab sebagai antitesa warga masyarakat terjajah. Tujuan pendidikan ini tidak mengalami perubahan sampai pada saat undanq-undang No. 4 Tahun 1950 diberla-kukan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai Undang-undang no. 12 tahun 1954.
Pada tahun 1965, pada saat Indonesia berada di bawah gelora Manipol/Usdek, rumusan pendidikan nasional disesuaikan dengan situasi politik pada masa itu. Melalui Keputusan Presiden Repu1ik Indonesia No. 145 tahun 1965 tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut :
“Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang dise1enggarakan oleh pihak Pemerintah maupun Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terse1eng-garanya masyarakat Sosialis Indonesia, adi1 dan makmur baik spirituil dan materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhanan yang Maha Esa, (b) Prikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial seperti dijelas-kan dalam Manipol/Usdek”.
Sesudah terjadinya peristiwa G30S/PKI, kembali rumusan tujuan pendidikan mengalami perubahan. Berdasarkan ketetapan Majelis Permu-syawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXVII/MPRS /1966, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai berikut: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945″. Pada masa ini tujuan pendidikan tampaknya diti-tikberatkan pada pembentukan manusia Pancasilais sejati, karena pada masa itu barangkali banyak ditemukan manusia Pancasilais palsu yung tidak sepenuhnya berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang murni.
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilihan umum menge1uarkan ketetapan No. IV/MPH/1973 yang dikenal dengan nama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan tersebut dirumuskan pula tujuan nasional pendidikan yang baru berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan pada hakikatnya ada1ah usaha sadar untuk mengem-bangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. 0leh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki o1eh se1uruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan ada1ah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila dan untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memi1iki pengetahuan dan keterampilan, dapat me-ngembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, men-cintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang temaktub dalam dalam Undang-undang Dasar 1945″.
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan yang berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampi1an , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sementara itu, rumusan tujuan pendidikan nasional yang terbaru dapat dibaca dalam UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 yang menegaskan bahwa : “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2) Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Lepas dari sega1a variasi rumusan tujuan pendidikan yang telah dike-mukakan di atas, pendidikan nasional merupakan suatu proses yang di-maksudkan untuk membentuk sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai tingkat usia dan golongan yang meliputi: kemampaun kepribadian dan moralitas, kemam-puan inte1ektua1, kemampuan sosial kemasyarakatan, kemampuan vokasional, kemampuan jasmani dan kemampuan-kemampuan lainnya. Untuk mewujudkan tujuan yang beraneka ragam tersebut diperlukan satuan-satuan dan jalur-jalur pen-didikan yang merupakan komponen-komponen sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional tersebut dapat dibagi dalam dua go1ongan besar yaitu: (1) Satuan Pendidikan Sekolah dan (2) Satuan Pendidikan Luar Sekolah.
Satuan Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendi-dikan yang bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan, Dilihat dari jenjangnya, pendidikan sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi. Dilihat dari sifatnya, pendidikan sekolah dapat diklasifikasikan lagi menjadi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendjdikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
Satuan pendidikan luar sekolah meliputi: pendidikan dalam keluarga, pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan-satuan pendidikan lain yang sejenis. Pendidikan pada satuan pendidikan ini bisa bersifat informal, formal, maupun formal.
Sebenarnya masih ada lagi jenis pendidikan lain yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia. Jenis pendidikan tersebut adalah pendidikan oleh dan untuk diri sendiri atau pendidikan yang diperoleh secara otodidak melalui membaca, memper-hatikan, bertanya, mencari tahu serta bentuk-bentuk pendidikan informal lain yang dipero1eh dari berbagai media massa dan sumber belajar 1ainnya.
Dalam usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi setiap warga negara serta mendorong terwujudnya masya-rakat belajar melalui proses belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua komponen atau satuan pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua warganegara yang memerlukan dan siap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan pendidikan harus bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam suatu kesatuan sistenm yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita pendidikan dalam keluarga belum memainkan peranan yang berarti. Padahal landasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar penga-ruhnya bagi proses pendidikan anak se1anjutnya. 0leh karena itu partisipasi keluarga dalam proses pendidikan per1u ditingkatkan .
BAB III
METODE PENULISAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan permasalahn yang dikaji, penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Masalah yang dikaji adalah permasalahan pendidikan dan alternative solusinya.
B. Teknik Pengumpulan Data
Makalah ini disusun dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan membaca dan mempelajari berbagai buku, makalah, artikel dan opini yang berkaitan sebagai bahan referensi.
C. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif dalam mengolah data hasil penelitian.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI
Permasalahan pendidikan Indonesia saat ini sangat kompleks. Namun, dapat dikelompokan menjadi dua hal yaitu masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal meliputi : masalah system pendidikan nasional yang masih menjadi wacana, profesionalisme guru yang masih rendah, system pembelajaran yang tidak efektif, masalah kurikulum, dan masalah kelembagaan (sarana, prasrana, dan sumber dana). Kemudian masalah eksternal meliputi : permasalahan globalisasi dan perubahan sosial.



B. SOLUSI YANG TEPAT DALAM MEMECAHKAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Ø Permasalahan Eksternal Pendidikan :
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
a.Permasalahan globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai tampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat kosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
b. Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan salah satu fungsi pendidikan adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara merdeka.
Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
Ø Permasalahan Internal Pendidikan :
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan, sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.Berikut uraian dari masalah-masalah tersebut :
Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan kepribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut.
Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achie-vement) (Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.
Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa. Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.
Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Administrasi serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat sentra1istis yang sarat dengan beban birokrasi . O1eh karena itu persoa1an-persoa1an pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat, efektif dan efisien.
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagai-mana meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam me-ningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Na-sional tidak secara eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi, penge-lolaan dan pengawasan.
Mangieri (1985, hlm.1) menyebutkan 8 faktor yang paling sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan. Kede-lapan faktor tersebut adalah; kurikulum yang ketat, guru yang kompeten, ciri-ciri keefektifan, penilaian, keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat, pendanaan yang memadai, disiplin yang kuat, dan keterikatan pada ni1ai-ni1ai tradisiona1. Komisi nasional mengenai keunggulan dalam bidang pen-didikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa keunggulan (exelence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan me1a1ui cara-cara berikut: menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa sejak permu1aan keterampi1an belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksima1 mungkin, menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.
Persoa1an kedua ada1ah bagaimana mendemokratiskan sistem pen-didikan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur agar sistem pendidikan nasiona1 kita memberikan ke-sempatan yang sama kepada semua warga negara untuk mempero1eh pen-didikan secara demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam mempero1eh pendidikan - yang cukup banyak diantaranya masih berkua1itas rendah - be1um kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak artinya dalam kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa diriikmati oleh sebahagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan da1am kemampuan intelektua1 maupun kemampuan ekonomis.
Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan menye-1enggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan sistem insentif yang mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.
Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang dise-lenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan mempe-roleh kesempatan untuk rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3 mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara. Mengingat demikian vitalnya peranan kewajiban belajar dalam upaya peningkatan kemampuan warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaanya perlu segera dikeluarkan, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.
Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan, dan lebih me-nyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua lembaga pendidikan untuk mena-namkan kesadaran kepada peserta didiknya akan pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar.
Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto (2007: 4). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Permasalahan-permasalahan pendidikan dikelompokkan menjadi dua kategori,yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Diantara permasalahan internal yaitu membahas mutu,pemerataan,dan motivasi, profesionalisme guru, sistem pembelajaran, sumber dana dan sumber daya. Permasalahan eksternal meliputi permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait.
B. SARAN
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam meningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
Beberapa saran yang dapat diberikan antara lain :
1. Adanya peran serta seluruh komponen kampus dalam rangka menyelesaikan permasalahan pendidikan Indonesia.
2. Menumbuhkan kesadaran bahwa permasalahan pendidikan merupakan masalah yang serius dan harus segera di selesaikan.
3. Perlunya meningkatkan apresiasi pemecahan masalah pendidikan oleh pihak manapun baik individu maupun perseorangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø ——— Undang-undang Republik Indonesia, No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Repub1ik Indonesia, 1989.
Ø .——— Undang-undang Republik Indonesia,No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Pen. CV Aneka Ilmu, cet. 1 tahun 2003
Ø Ardhana, Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .
Ø Ardhana, Wayan (1990). Atribusi terhadap sebab-sebah keberhasi1an dan kegagalan, serta kaitannya dengan motivasi berprestasi, Pidato pengukuhan Guru Besar, IKIP Malang.
Ø Ardhana, Wayan (1990). Hakikat kewajiban belajar dalam menyongsong rintisan kewajiban belajar SLTP, naskah tidak dipublikasikan.
Ø Bebby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES, Jakarta.
Ø Clifford, Margaret M. { 1990 ). Students need challenge, not easy success, Educational Leadership, 48 (1), 22 - 34.
Ø Cummings, William K. ( 1980 ). Education and equality in Japan, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Ø Dweck, Carol S. (1986). Motivational processes affecting learning, American Psychologist, 41(10), 1040-1048.
Ø Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Ø Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta
http://heruedi.blog.uns.ac.id/2010/04/25/masa-depan-pendidikan-indonesia/



519

5





2 dari 2 Kompasianer menilai Bermanfaat.
Sudah saatnya kita menata ulang masa depan bangsa. Mengingat keunikan geografis Indonesia yang merupakan gugusan pulau-pulau dengan luas wilayah laut dua kali lipat dari luas daratan, maka kita perlu merumuskan visi baru, yakni: “Mewujudkan negara kesatuan maritim yang mampu mengintegrasikan perekonomian domestik menuju negara maju yang berkeadilan.”

Ada lima sasaran strategis yang perlu dicanangkan pemerintahan baru untuk mencapai percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, merata dan berkeadilan. Pertama adalah struktur ekonomi yang kokoh yang tak rentan diterpa gejolak eksternal, mandiri dan berdaya saing. Kedua sumber daya manusia berkualitas, yang bertumpu pada pendidikan berorientasi output, kesehatan, dan kemampuan teknologi. Ketiga mobilisasi seluruh potensi sumber dana dalam negeri untuk menghasilkan pembiayaan yang selaras dengan kebutuhan investasi. Keempat pemanfaatan sumber daya alam secara sinergis dan lestari. Kelima, birokrasi yang kompeten, efektif dan bersih.
Dengan lima sasaran strategis tersebut, angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan yang tinggi saat ini bisa terselesaikan lebih cepat. Selain itu, penerimaan pajak oleh pemerintah masih dapat ditingkatkan sehingga pemerataan pembangunan kian dapat dirasakan semua pihak di semua wilayah.
Untuk mengoperasionalisasikan visi dan sasaran strategis, ada tujuh area kebijakan yang perlu digelar. Pada area kebijakan ketujuh tercantum kebijakan afirmatif, yang menunjukkan bahwa mekanisme pasar saja tidak bisa menyelesaikan masalah bangsa.
Kesemua ini akhirnya dipayungi oleh tiga pilar, yakni: lingkungan sosial politik, kerangka kelembagaan, dan struktur pasar.
Inilah beberapa nilai inti dari demokrasi sosial dan ekonomi pasar sosial. Kita tak boleh berhenti untuk memperjuangkannya, di mana pun kita berkiprah.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2009/10/29/menata-masa-depan/

Senin, Desember 20, 2010

INDUSTRIALISASI dan MACAM-MACAMNYA

A. Definisi dan pengertian industri
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.
B. Jenis / macam-macam industri berdasarkan tempat bahan baku
1. Industri ekstraktif
Industri ekstraktif adalah industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar.
- Contoh : pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan lain lain.
2. Industri nonekstaktif
Industri nonekstaktif adalah industri yang bahan baku didapat dari tempat lain selain alam sekitar.
3. Industri fasilitatif
Industri fasilitatif adalah industri yang produk utamanya adalah berbentuk jasa yang dijual kepada para konsumennya.
- Contoh : Asuransi, perbankan, transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya.
C. Golongan / macam industri berdasarkan besar kecil modal
1. Industri padat modal
adalah industri yang dibangun dengan modal yang jumlahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya
2. Industri padat karya
adalah industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya.
D. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan klasifikasi atau penjenisannya
= berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986 =
1. Industri kimia dasar
contohnya seperti industri semen, obat-obatan, kertas, pupuk, dsb
2. Industri mesin dan logam dasar
misalnya seperti industri pesawat terbang, kendaraan bermotor, tekstil, dll
3. Industri kecil
Contoh seperti industri roti, kompor minyak, makanan ringan, es, minyak goreng curah, dll
4. Aneka industri
misal seperti industri pakaian, industri makanan dan minuman, dan lain-lain.
E. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
1. Industri rumah tangga
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang.
2. Industri kecil
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang.
3. Industri sedang atau industri menengah
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.
4. Industri besar
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih.
F. Pembagian / penggolongan industri berdasakan pemilihan lokasi
1. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada pasar (market oriented industry)
Adalah industri yang didirikan sesuai dengan lokasi potensi target konsumen. Industri jenis ini akan mendekati kantong-kantong di mana konsumen potensial berada. Semakin dekat ke pasar akan semakin menjadi lebih baik.
2. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada tenaga kerja / labor (man power oriented industry)
Adalah industri yang berada pada lokasi di pusat pemukiman penduduk karena bisanya jenis industri tersebut membutuhkan banyak pekerja / pegawai untuk lebih efektif dan efisien.
3. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada bahan baku (supply oriented industry)
Adalah jenis industri yang mendekati lokasi di mana bahan baku berada untuk memangkas atau memotong biaya transportasi yang besar.
G. Macam-macam / jenis industri berdasarkan produktifitas perorangan
1. Industri primer
adalah industri yang barang-barang produksinya bukan hasil olahan langsung atau tanpa diolah terlebih dahulu
Contohnya adalah hasil produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya.
2. Industri sekunder
industri sekunder adalah industri yang bahan mentah diolah sehingga menghasilkan barang-barang untuk diolah kembali.
Misalnya adalah pemintalan benang sutra, komponen elektronik, dan sebagainya.
3. Industri tersier
Adalah industri yang produk atau barangnya berupa layanan jasa.
Contoh seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sumber : http://organisasi.org