Salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah metode discovery, hal itu disebabkan karena metode discovery ini: (a) Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b) Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri, (e) dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan probela yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian diharapkan metode discovery ini lebih dikenal dan digunakan di dalam berbagai kesempatan proses belajar mengajar yang memungkinkan.
Metode Discovery menurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi.
Metode Discovery merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan ketrampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode discovery adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
Suryosubroto (2002:193) mengutip pendapat Sund (1975) bahwa discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Langkah-langkah pelaksanaan metode penemuan menurut Suryosubroto (2002:197) yang mengutip pendapat Gilstrap (1975) adalah: (a) Menilai kebutuhan dan minat siswa, dan menggunakannya sebagai dasar untuk menentukan tujuan yang berguna dan realities untuk mengajar dengan penemuan, (b) Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa, prinsip-prinsip, generalisasi, pengertian dalam hubungannya dengan apa yang akan dipelajarai, (c) Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan, (d) Berkomunikasi dengan siswa akan membantu menjelaskan peranan penemuan, (e) menyiapkan suatu situasi yang mengandung masalah yang minta dipecahkan, (f) Mengecek pengertian siswa tentang maslah yang digunakan untuk merangsang belajar dengan penemuan, (g) Menambah berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan, (h) memberi kesempatan kepada siswa untuk bergiat mengumpulkan dan bekerja dengan data, misalnya tiap siswa mempunyai data harga bahan-bahan pokok dan jumlah orang yang membutuhkan bahan-bahan pokok tersebut, (i) Mempersilahkan siswa mengumpulkan dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya sendiri, sehingga memperoleh tilikan umum, (j) Memberi kesempatan kepada siswa melanjutkan pengalaman belajarnya, walaupun sebagian atas tanggung jawabnya sendiri, (k) memberi jawaban dengan cepat dan tepat sesuai dengan data dan informasi bila ditanya dan diperlukan siswa dalam kelangsungan kegiatannya, (l) Memimpin analisisnya sendiri melalui percakapan dan eksplorasinya sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses, (m) Mengajarkan ketrampilan untuk belajar dengan penemuan yang diidentifikasi oleh kebutuhan siswa, misalnya latihan penyelidikan, (n) Merangsang interaksi siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan, mendiskusikan hipotesis dan data yang terkumpul, (o) Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi maupun pertanyaan tingkat yang sederhana, (p) Bersikap membantu jawaban siswa, ide siswa, pandanganan dan tafsiran yang berbeda. Bukan menilai secara kritis tetapi membantu menarik kesimpulan yang benar, (q) Membesarkan siswa untuk memperkuat pernyataannya dengan alas an dan fakta, (r) Memuji siswa yang sedang bergiat dalam proses penemuan, misalnya seorang siswa yang bertanya kepada temannya atau guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan siswa siswa yang mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri, (s) membantu siswa menulis atau merumuskan prinsip, aturan ide, generalisasi atau pengertian yang menjadi pusat dari masalah semula dan yang telah ditemukan melalui strategi penemuan, (t) Mengecek apakah siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau teknik, dalam situasi berikutnya, yaitu situasi dimana siswa bebas menentukan pendekatannya.
Sedangkan langkah-langkah menurut Richard Scuhman yang dikutip oleh Suryosubroto (2002:199) adalah : (a) identifikasi kebutuhan siswa, (b) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari, (c) Seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas, (d) Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa, (e) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan, (f) Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa, (g) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan, (h) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa, (i) memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses, (j) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa, (k) memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan, (l) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.
Metode discovery memiliki kebaikan-kebaikan seperti diungkapkan oleh Suryosubroto (2002:200) yaitu: (a) Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu, (b) Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer, (c) Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan, (d) metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri, (e) metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan bermotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus, (f) Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan. Dapat memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan, (g) Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisispasi sebagai sesame dalam situasi penemuan yang jawaban nya belum diketahui sebelumnya, (h) Membantu perkembangan siswa menuju skeptisssisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.
Kelemahan metode discovery Suryosubroto (2002:2001) adalah: (a) Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya siswa yang lamban mungkin bingung dalam usanya mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa yang lain, (b) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu. (c) Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudahy biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional, (d) Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan ketrampilan. Sedangkan sikap dan ketrampilan diperlukan untuk memperoleh pengertian atau sebagai perkembangan emosional sosial secara keseluruhan, (e) dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide, mungkin tidak ada, (f) Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh guru, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya. Tidak semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.
Metode Discovery menurut Rohani (2004:39) adalah metode yang berangkat dari suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subyek di samping sebagai obyek pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru.
Ada lima tahap yang harus ditempuh dalam metode discovery menurut Rohani(2004:39) yaitu: (a) Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik, (b) Penetapan jawaban sementara atau pengajuan hipotesis, (c) Peserta didik mencari informasi , data, fakta, yang diperlukan untuk menjawab atau memecahkan masalah dan menguji hipotesis, (d) Menarik kesimpulan dari jawaban atau generalisasi, (e) Aplikasi kesimpulan atau generalisasidalam situasi baru.
Metode Discovery menurut Roestiyah (2001:20) adalah metode mengajar mempergunakan teknik penemuan. Metode discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
Pada metode discovery, situasi belajar mengajar berpindah dari situasi teacher dominated learning menjadi situasi student dominated learning. Dengan pembelajaran menggunakan metode discovery, maka cara mengajar melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Penggunaan metode discovery ini guru berusaha untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar. Sehingga metode discovery menurut Roestiyah (2001:20) memiliki keunggulan sebagai berikut: (a) Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta panguasaan ketrampilan dalam proses kognitif/ pengenalan siswa, (b) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi / individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut, (c) Dapat meningkatkan kegairahan belajar para siswa.
Metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran dengan metode penemuan lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar.
Cara mengajar dengan metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (a) Adanya masalah yang akan dipecahkan, (b) Sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik, (c) Konsep atau prinsip yang harus ditemukan oleh peserta didik melalui kegiatan tersebut perlu dikemukakan dan ditulis secara jelas, (d) harus tersedia alat dan bahan yang diperlukan, (e) Sususnan kelas diatur sedemian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, (f) Guru harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengumpulkan data, (g) Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta informasi yang diperlukan peserta didik.
14. Metode Inquiry
Metode inquiry adalah metode yang mampu menggiring peserta didik untuk menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar yang aktif (Mulyasa , 2003:234).
Kendatipun metode ini berpusat pada kegiatan peserta didik, namun guru tetap memegang peranan penting sebagai pembuat desain pengalaman belajar. Guru berkewajiban menggiring peserta didik untuk melakukan kegiatan. Kadang kala guru perlu memberikan penjelasan, melontarkan pertanyaan, memberikan komentar, dan saran kepada peserta didik. Guru berkewajiban memberikan kemudahan belajar melalui penciptaan iklim yang kondusif, dengan menggunakan fasilitas media dan materi pembelajaran yang bervariasi.
Inquiry pada dasarnya adalah cara menyadari apa yang telah dialami. Karena itu inquiry menuntut peserta didik berfikir. Metode ini melibatkan mereka dalam kegiatan intelektual. Metode ini menuntut peserta didik memproses pengalaman belajar menjadi suatu yang bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian , melalui metode ini peserta didik dibiasakan untuk produktif, analitis , dan kritis.
Langkah-langkah dalam proses inquiry adalah menyadarkan keingintahuan terhadap sesuatu, mempradugakan suatu jawaban, serta menarik kesimpulan dan membuat keputusan yang valid untuk menjawab permasalahan yang didukung oleh bukti-bukti. Berikutnya adalah menggunakan kesimpulan untuk menganalisis data yang baru (Mulyasa, 2005:235).
Strategi pelaksanaan inquiry adalah: (1) Guru memberikan penjelasan, instruksi atau pertanyaan terhadap materi yang akan diajarkan. (2) Memberikan tugas kepada peserta didik untuk menjawab pertanyaan, yang jawabannya bisa didapatkan pada proses pembelajaran yang dialami siswa. (3) Guru memberikan penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang mungkin membingungkan peserta didik. (4) Resitasi untuk menanamkan fakta-fakta yang telah dipelajari sebelumnya. (5) Siswa merangkum dalam bentuk rumusan sebagai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (Mulyasa, 2005:236).
Metode inquiry menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas meneliti suatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, kemudian mereka mempelajari, meneliti, atau membahas tugasnya di dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam kelompok didiskusikan, kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil laporan dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang pleno kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan kesimpulan yang terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan, hal itu perlu diperhatikan.
Guru menggunakan teknik bila mempunyai tujuan agar siswa terangsang oleh tugas, dan aktif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu. Mencari sumber sendiri, dan mereka belajar bersama dalam kelompoknya. Diharapkan siswa juga mampu mengemukakan pendapatnya dan merumuskan kesimpulan nantinya. Juga mereka diharapkan dapat berdebat, menyanggah dan mempertahankan pendapatnya. Inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, seperti merumuskan masalah, merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan. Pada metode inquiry dapat ditumbuhkan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan sebagainya. Akhirnya dapat mencapai kesimpulan yang disetujui bersama. Bila siswa melakukan semua kegiatan di atas berarti siswa sedang melakukan inquiry.
Teknik inquiry ini memiliki keunggulan yaitu : (a) Dapat membentuk dan mengembangkan konsep dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar ide-ide dengan lebih baik. (b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru. (c) mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan terbuka. (d) Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri. (e) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik. (f) Situasi pembelajaran lebih menggairahkan. (g) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu. (h) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri. (i) Menghindarkan diri dari cara belajar tradisional. (j) Dapat memberikan waktu kepada siswa secukupnya sehingga mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Metode inquiry menurut Suryosubroto (2002:192) adalah perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inqury mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisadata, manarik kesimpulan dan lain sebagainya.
Sumber : http://mthp.blogspot.com/
Jumat, Januari 29, 2010
Sabtu, Januari 23, 2010
TUC SOSIOLOGI, SABTU 23 JANUARI 2010
Senin, Januari 18, 2010
Teori Penyimpangan yg Berprespektif sosiologis
1. Anomie
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam struktur social sehingga ada individu-individu yang mengalamai tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang.Teori dikemukakan oleh Robert Merton sekitar tahun 1930 an.
Situasi anomie berakibat negative bagi sekelompok masyarakat, di mana untuk mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa melakukannya melalui cara-cara yang tidak sah, di antaranya penyimpangan atau kejahatan.
2. Teori sosialisasi
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan perilaku adalah akibat dari proses belajar, penguasaan sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari sub kultur.Teori tersebut lebih dikenal dengan istilah Asosiasi diferensial. Teori ini di kemukakan oleh Sutherland. ( cotoh : perilaku homoseksual ).
3. Teori Labeling
Teori ini menjelaskan penyimpangan dikategorikan labeling ketika perilaku telah sampai pada tahap penyimpangan sekunder.Analisis pemberian cap tersebut dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberikan definisi, julukan atau pemberian label pad individu-individu yang menurut penilaian orang tersebut adalah menyimpang.Teori labeling dikemukakan oleh Becker. Lebih lanjut dikatakan teori labeling didasarkan reaksi atau sanksi dari penonton social bukan berdasarkan norma.
4. Teori control
Penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan control atau pengendalian social. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hokum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.Teori ini dikemukakan oleh Hirschi 1969.
Menurutnya dalam control social terdapat empat unsure utama yaitu attachement(kasih saying), commitment( tanggung jawab),involvement (partisipasi) dan believe(kepercayaan/keyakinan).
5. Teori konflik
Teori konflik ini menitik beratkan pada analisis asal usul terciptanya suatu aturan atau tertib social.Perspektif konflik memahami masyarakt sebagai kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hokum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka ( Quinney,1979). Sebagai contoh pada Negara kapitalis telah menciptakan suatu aturan yang lebih mengutamakan kaum capital, sehingga bagi kelas bawah tidak memiliki kesempatan untuk bersaing sehingga mereka melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan.
Sumber : J.Dwi Narwoko, Sosiologi teks pengantar dan terapan, 2007, h.109-120.
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam struktur social sehingga ada individu-individu yang mengalamai tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang.Teori dikemukakan oleh Robert Merton sekitar tahun 1930 an.
Situasi anomie berakibat negative bagi sekelompok masyarakat, di mana untuk mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa melakukannya melalui cara-cara yang tidak sah, di antaranya penyimpangan atau kejahatan.
2. Teori sosialisasi
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan perilaku adalah akibat dari proses belajar, penguasaan sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari sub kultur.Teori tersebut lebih dikenal dengan istilah Asosiasi diferensial. Teori ini di kemukakan oleh Sutherland. ( cotoh : perilaku homoseksual ).
3. Teori Labeling
Teori ini menjelaskan penyimpangan dikategorikan labeling ketika perilaku telah sampai pada tahap penyimpangan sekunder.Analisis pemberian cap tersebut dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberikan definisi, julukan atau pemberian label pad individu-individu yang menurut penilaian orang tersebut adalah menyimpang.Teori labeling dikemukakan oleh Becker. Lebih lanjut dikatakan teori labeling didasarkan reaksi atau sanksi dari penonton social bukan berdasarkan norma.
4. Teori control
Penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan control atau pengendalian social. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hokum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.Teori ini dikemukakan oleh Hirschi 1969.
Menurutnya dalam control social terdapat empat unsure utama yaitu attachement(kasih saying), commitment( tanggung jawab),involvement (partisipasi) dan believe(kepercayaan/keyakinan).
5. Teori konflik
Teori konflik ini menitik beratkan pada analisis asal usul terciptanya suatu aturan atau tertib social.Perspektif konflik memahami masyarakt sebagai kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hokum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka ( Quinney,1979). Sebagai contoh pada Negara kapitalis telah menciptakan suatu aturan yang lebih mengutamakan kaum capital, sehingga bagi kelas bawah tidak memiliki kesempatan untuk bersaing sehingga mereka melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan.
Sumber : J.Dwi Narwoko, Sosiologi teks pengantar dan terapan, 2007, h.109-120.
Label:
MATERI PELAJARAN SOSIOLOGI
Jumat, Januari 15, 2010
KONSEP SUKU BANGSA
1. Konsep Suku Bangsa
Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat akan kesatuan bahasa yang digunakan, serta dengan kesatuan kebudayaan yang timbul karena suatu ciri khas dari suku bangsa itu sendiri bukan karena pengaruh dari luar. Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya yang memunculkan cirri khas dari masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep suku bangsa sangatlah kompleks, karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat meluas maupun menyempit tergantung situasi dan kondisi pada saat itu. Menurut para ahli antropologi selain meneliti besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, mereka juga membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan atas kriteria mata pencaharian dan system ekonomi yaitu
Masyarakat pemburu dan peramu (hunting and gathering societies), yang pada masa kini sudah jarang ditemui. Mereka biasanya tinggal di daerah-daerah yang terisolasi di daerah-daerah pinggiran atau terpencil.
Masyarakat peternak (pastoral societies), masih ada masa kini, biasanya mereka tinggal di daerah yang masih ada stepa atau sabana atau daerah rumputan. Kehidupan suku-suku bangsa peternak sangatlah mobilisasi, karena mereka selalu berpindah-pindah tergantung musim-musim yang sedang berlangsung dengan membuat perkemahan dan biasanya mereka bersifat sangat agresif.
Masyarakat peladang (societies of shifting cultivators), dalam kehidupannya mereka membuka hutan untuk dijadikan lading dan bila sudah memanen dua sampai tiga kali, mereka meninggalkan ladang tersebut kemudian membuka lading lagi di hutan lainnya. Keadaan ini berlangsung sampai ke ladang yang pertama kali mereka buka yaitu sekitar 12 sampai 13 tahun lamanya dan biasanya mereka sudah menetap.
Masyarakat nelayan (fishing communities), mereka hidup di sepanjang pantai, hal ini dilakukan agar memudahkan mereka bila akan melaut untuk mencari ikan di laut. Kebudayaan nelayan biasanya mereka mengetahui teknologi pembuatah perahu, cara-cara navigasi di laut, memiliki oraganisasi social yang dapat menampung system pembagian kerja dan lain-lainnya.
Masyarakat petani pedesaan (peasant communities), merupakan komunitas paling besar di dunia dan kebudayaan yang berkembang biasanya berorientasi terhadap kebudayaan dari otoritas yang lebih tinggi yaitu perkotaan administratif.
Masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies), di dalamnya akan terjadi gejala hubungan interaksi antar suku-suku bangsa yang ada di kota besar. Dan biasanya akan menimbulkan masalah dengan adanya hubungan antar suku-suku bangsa tersebut.
2. Konsep Daerah Kebudayaan
Daerah kebudayaan (culture area) merupakan suatu penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh para ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya beraneka ragam dengan mempunyai beberapa unsur yang serupa. Dalam hal ini merupakan suatu system klasifikasi yang mengelompokan beraaneka warna suku bangsa di suatu daerah beradasarkan atas beberapa persamaan yang terdapat di dalam unsur kebudayaannya. Saran-saran ini dikemukakan oleh F. Boas seorang pakar antropologi dari Amerika. Dalam klaifikasi persamaan ini berupa alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transportasi, senjata, bentuk-bentuk perhiasan, gaya berpakaian, system organisasi, system perekonomian, upacara keagamaan, dan adat istiadat. Tetapi, metode ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu bial suatu verifikasi yang lebih mendalam ternyata kan mengaburkan culture area.
3. Suku-Suku Bangsa di Indonesia
Seorang ahli antropologi Indonesia wajib untuk mengenalbentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilayahnya sendiri. Selain itu juga, mereka harus mengetahui cukup mendalam masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan di wilayah negara-negara tetangga. Menurut Van Villenhoven, klasifikasi dari aneka warna suku bangsa di wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem hukum adat yaitu
NO Suku Bangsa NO Suku Bangsa
1. Aceh 9. Gorontalo
2. Gayo-Alas dan Batak 10. Toraja
2a. Nias dan Batu 11 Sulawesi Selatan
3. Minangkabau 12 Ternate
3a. Mentawai 13. Ambon-Maluku
4. Sumatera Selatan 13a. Kepulauan Barat Daya
4a. Enggano 14 Papua
5. Melayu 15 Bali dan Lombok
6. Bangka dan Biliton 16 Jawa Tengah dan Jawa Timur
7. Kalimantan 17 Surakarta dan Yogyakarta
8a. Sangir-Talaud 18 Jawa Barat
4. Ras, Bahasa, dan Kebudayaan
Sekelompok manusia yang mempunyai ciri-ciri ras tertentu yang sama, belum tentu mempunyai bahasa induk yang sama di daerah tertentu.denganadanya perbedaan ras antar manusia di dunia ini, akan mencapai kemantapan dalam waktu yang cukup lama ketika manusia menyebar ke seluruh penjuru dunia dan membuat kebudayaan baru dengan induk bahasa yang berbeda.
Sumber : http://www.indoforum.org/showthread.php?t=79205
Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat akan kesatuan bahasa yang digunakan, serta dengan kesatuan kebudayaan yang timbul karena suatu ciri khas dari suku bangsa itu sendiri bukan karena pengaruh dari luar. Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya yang memunculkan cirri khas dari masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep suku bangsa sangatlah kompleks, karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat meluas maupun menyempit tergantung situasi dan kondisi pada saat itu. Menurut para ahli antropologi selain meneliti besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, mereka juga membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan atas kriteria mata pencaharian dan system ekonomi yaitu
Masyarakat pemburu dan peramu (hunting and gathering societies), yang pada masa kini sudah jarang ditemui. Mereka biasanya tinggal di daerah-daerah yang terisolasi di daerah-daerah pinggiran atau terpencil.
Masyarakat peternak (pastoral societies), masih ada masa kini, biasanya mereka tinggal di daerah yang masih ada stepa atau sabana atau daerah rumputan. Kehidupan suku-suku bangsa peternak sangatlah mobilisasi, karena mereka selalu berpindah-pindah tergantung musim-musim yang sedang berlangsung dengan membuat perkemahan dan biasanya mereka bersifat sangat agresif.
Masyarakat peladang (societies of shifting cultivators), dalam kehidupannya mereka membuka hutan untuk dijadikan lading dan bila sudah memanen dua sampai tiga kali, mereka meninggalkan ladang tersebut kemudian membuka lading lagi di hutan lainnya. Keadaan ini berlangsung sampai ke ladang yang pertama kali mereka buka yaitu sekitar 12 sampai 13 tahun lamanya dan biasanya mereka sudah menetap.
Masyarakat nelayan (fishing communities), mereka hidup di sepanjang pantai, hal ini dilakukan agar memudahkan mereka bila akan melaut untuk mencari ikan di laut. Kebudayaan nelayan biasanya mereka mengetahui teknologi pembuatah perahu, cara-cara navigasi di laut, memiliki oraganisasi social yang dapat menampung system pembagian kerja dan lain-lainnya.
Masyarakat petani pedesaan (peasant communities), merupakan komunitas paling besar di dunia dan kebudayaan yang berkembang biasanya berorientasi terhadap kebudayaan dari otoritas yang lebih tinggi yaitu perkotaan administratif.
Masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies), di dalamnya akan terjadi gejala hubungan interaksi antar suku-suku bangsa yang ada di kota besar. Dan biasanya akan menimbulkan masalah dengan adanya hubungan antar suku-suku bangsa tersebut.
2. Konsep Daerah Kebudayaan
Daerah kebudayaan (culture area) merupakan suatu penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh para ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya beraneka ragam dengan mempunyai beberapa unsur yang serupa. Dalam hal ini merupakan suatu system klasifikasi yang mengelompokan beraaneka warna suku bangsa di suatu daerah beradasarkan atas beberapa persamaan yang terdapat di dalam unsur kebudayaannya. Saran-saran ini dikemukakan oleh F. Boas seorang pakar antropologi dari Amerika. Dalam klaifikasi persamaan ini berupa alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transportasi, senjata, bentuk-bentuk perhiasan, gaya berpakaian, system organisasi, system perekonomian, upacara keagamaan, dan adat istiadat. Tetapi, metode ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu bial suatu verifikasi yang lebih mendalam ternyata kan mengaburkan culture area.
3. Suku-Suku Bangsa di Indonesia
Seorang ahli antropologi Indonesia wajib untuk mengenalbentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilayahnya sendiri. Selain itu juga, mereka harus mengetahui cukup mendalam masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan di wilayah negara-negara tetangga. Menurut Van Villenhoven, klasifikasi dari aneka warna suku bangsa di wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem hukum adat yaitu
NO Suku Bangsa NO Suku Bangsa
1. Aceh 9. Gorontalo
2. Gayo-Alas dan Batak 10. Toraja
2a. Nias dan Batu 11 Sulawesi Selatan
3. Minangkabau 12 Ternate
3a. Mentawai 13. Ambon-Maluku
4. Sumatera Selatan 13a. Kepulauan Barat Daya
4a. Enggano 14 Papua
5. Melayu 15 Bali dan Lombok
6. Bangka dan Biliton 16 Jawa Tengah dan Jawa Timur
7. Kalimantan 17 Surakarta dan Yogyakarta
8a. Sangir-Talaud 18 Jawa Barat
4. Ras, Bahasa, dan Kebudayaan
Sekelompok manusia yang mempunyai ciri-ciri ras tertentu yang sama, belum tentu mempunyai bahasa induk yang sama di daerah tertentu.denganadanya perbedaan ras antar manusia di dunia ini, akan mencapai kemantapan dalam waktu yang cukup lama ketika manusia menyebar ke seluruh penjuru dunia dan membuat kebudayaan baru dengan induk bahasa yang berbeda.
Sumber : http://www.indoforum.org/showthread.php?t=79205
Berikut adalah suku bangsa yang ada di Indonesia.
1. Abai - Kalimantan Timur
2. Abung - Sumatra
3. Aceh - DI Aceh
4. Adang - Kalimantan
5. Adonara - NTB/NTT
6. Akit - Sumatra
7. Alas - DI Aceh
8. Alifuru - Maluku
9. Alor Solor - NTB/NTT
10. Ambon - Maluku
11. Ampana - Sulawesi
12. Anak Dalam - Riau
13. Anabas - Sumatra
14. Aneuk Jame - Sumatra
15. Anggi - Papua
16. Angkola - Sumatra
17. Aput - Kalimantan
18. Arab - DKI Jakarta
19. Arguni - Papua
20. Aru - Maluku
21. Asmat - Papua
22. Atoni - NTB/NTT
23. Awiu - Papua
24. Ayou - Kalimantan
25. Bacan - Maluku
26. Bada - Sulawesi
27. Badar - Maluku
28. Bahau - Kalimantan
29. Bajau - Jambi
30. Bajo - Sulawesi
31. Baku - Sulawesi
32. Balantak - Sulawesi
33. Balatan - Sulawesi Tengah
34. Bali - Bali
35. Bali Aga - NTB/NTT
36. Banda - Maluku
37. Banggai - Sulawesi Tengah
38. Bangka - Sumatra
39. Banjar – Kalimantan Selatan
40. Banjar Hulu – Kalimantan Selatan
41. Banjar Kuala – Kalimantan Selatan
42. Banten - Jawa Barat
43. Bantenan - Sulawesi
44. Bantik - Sulawesi Utara
45. Banyak - Sumatra
46. Basap - Kalimantan
47. Batak - Sumatra
48. Batang Lupar - Kalimantan
49. Batanta - Papua
50. Batin - Jambi
51. Batu - Sumatra
52. Batu Blah - Kalimantan
53. Bawean - Jawa
54. Bela - Sumatra
55. Belang - Sulawesi
56. Belu - NTB/NTT
57. Bengkulu - Bengkulu
58. Benua - Sumatra
59. Berusu - Kalimantan Timur
60. Besoa - Sulawesi
61. Betawi - DKI Jakarta/Jawa Barat
62. Biaju - Kalimantan
63. Biak - Papua
64. Biasaya - Kalimantan
65. Biliton - Sumatra
66. Bima - NTB
67. Bituni - Papua
68. Bobongko - Sulawesi
69. Bodha - NTB/NTT
70. Boh - Kalimantan
71. Bolaang Mongondow - Sulawesi Selatan
72. Bonfia - Maluku
73. Bonai - Riau
74. Bugis - Sulawesi Selatan
75. Bukar, Dayak - Kalimantan
76. Bukar, Punan - Kalimantan
77. Bukit - Kalimantan
78. Bukitan - Kalimantan
79. Bukupai - Kalimantan Barat
80. Buli - Maluku
81. Bulungan - KalimantanTimur
82. Bungku - Sulawesi
83. Buol - Sulawesi
84. Buru -Maluku
85. Busang - Kalimantan
86. Buton - Sulawesi Tenggara
87. Buyu - Sulawesi
88. Caniago - Sumatra Barat
89. Cina - Jawa / Kalimantan / DKI Jakarta / Sumatra
90. Damar - Maluku/NTB/NTT
91. Dani - Papua
92. Darat - Sumatra
93. Dawan - NTT
94. Dayak – Kalimantan Barat / Kalimantan Tengah
95. Demta - Papua
96. Desa - Kalimantan
97. Dodongko - NTB/NTT
98. Dompo - NTB/NTT
99. Dusun - Kalimantan Barat
100. Ende - NTB/NTT
101. Enggano - Bengkulu
102. Flores - NTT
103. Furuaru - Maluku
104. Galela - Maluku
105. Gene - Maluku
106. Gayo - DI Aceh
107. Genyem - Papua
108. Gimpu - Sulawesi
109. Goram - Maluku
110. Gorontalo - Sulawesi Utara
111. Guai - Papua
112. Guci - Sumatra Barat
113. Halmahera -Maluku
114. Hattam - Papua
115. Helong - NTT
116. Hutan - Riau
117. Iban - Kalimantan
118. Iha - Papua
119. Jakui - Papua
120. Jambak - Sumatra Barat
121. Jambi - Jambi
122. Jawa - DI Yogyakarta /Jawa Timur/Jawa Teangah/Bali/Sumatra
123. Juru - Sumatra
124. Kabaena - Sulawesi
125. Kadayan - Kalimantan
126. Kahayan - Kalimantan
127. Kadipan - Sulawesi
128. Kaili - Sulawesi Tengah
129. Kalabit - Kalimantan
130. Kangean - JawaTengah
131. Kanowit - Kalimantan
132. Kapauku - Papua
133. Karimun - JawaTengah
134. Karo - Sumatra Utara
135. Katingan - Kalimantan
136. Kayan - Kalimantan Timur
137. Kayoa - Maluku
138. Kei - Maluku
139. Kelai - Kalimantan
140. Kenya - Kalimantan Timur
141. Kerinci - Jambi
142. Kiman - Papua
143. Kinadu - Sulawesi
144. Kinjing - Kalimantan
145. Kisan - Sumatra Selatan
146. Kisar - Sumatra Selatan
147. Klamantan - Kalimantan
148. Kluet - DI Aceh
149. Kodombuku - Sulawesi
150. Komering - Sumatra Selatan
151. KotaWaringin - Kalimantan
152. Koto - Sumetra Barat
153. Kubu -Jambi /Sumatra Selatan
154. Kulawi - Sulawesi Tengah
155. Kulisusu - Sulawesi Tenggara
156. Kupang - NTB/NTT
157. Lage - Sulawesi
158. Lajolo - Sulawesi
159. Laki - Sulawesi Tenggara
160. Lalaeo - Sulawesi
161. Lambatu - Sulawesi
162. Lampu - Sulawesi
163. Lampung - Lampung
164. Land Dayak - Kalimantan
165. Larantuka
166. Laras Fordata - Maluku
167. Laut - Riau
168. Lawangan - Kalimantan Barat
169. Lebong - Bengkulu
170. Leboni - Sulawesi
171. Lematang - Sumatra Selatan
172. Leti - NTB/NTT/Maluku
173. Lindu - Sulawesi
174. Lingga - Sumatra
175. Lio - NTB/NTT
176. Lisum - Kalimantan
177. Loda - Maluku
178. Loinang - Sulawesi
179. Lom - Sumatra
180. Lombleng - NTB/NTT
181. Lombok - NTB
182. Long Giat - Kalimantan
183. Long Kiput - Kalimantan
184. Long Wai - Kalimantan
185. Lundu - Kalimantan
186. Lugat - Kalimantan
187. Lubu - Sumatra
188. Maayan - Kalimantan Barat
189. Maba - Maluku
190. Madura - Jawa Timur/Bali
191. Mairasi - Papua
192. Makasar - Sulawesi Selatan
193. Makian - Maluku
194. Mamak - Sumatra
195. Mamasa - Sulawesi
196. Memberamo - Papua
197. Membaro - NTB/NTT
198. Mamuju - Sulawesi
199. Manado - Sulawesi Utara
200. Mandailing - Sumatra Utara
201. Mandar - Sulawesi Selatan
202. Manggarai - NTB/NTT
203. Mangki - Sulawesi
204. Manikion - Papua
205. Manyukei - Kalimantan
206. Mapia - Papua
207. Mapute - Sulawesi
208. Marea - NTB/NTT
209. Marindanim - Papua
210. Maronene - Sulawesi
211. Masenrempulu - Sulawesi
212. Matano - Sulawesi
213. Mbaluh - Kalimantan
214. Medan - Sumatra
215. Meibrat - Papua
216. Melanau - Kalimantan
217. Melayu - Kalimantan/Sumatra Utara/Riau/Jambi/Bengkulu/Lampung
218. Mengkongga - Sulawesi
219. Mimika - Papua
220. Minahasa - Sulawesi Utara
221. Minangkabau - Sumatra Barat
222. Misol - Papua
223. Moa - Maluku
224. Moni - Papua
225. Morotai - Maluku
226. Mualang - Kalimantan
227. Muna - Sulawesi Tenggara
228. Murik - Kalimantan
229. Murung - Kalimantan
230. Murut - Kalimantan Tengah
231. Musihulu - sumatra
232. Muyu - Papua
233. Mori - Sulawesi Tengah
234. Moronene - Sulawesi Tengah
235. Bage Keo - NTB/NTT
236. Nafuna - Sumatra
237. Ngada - NTB/NTT
238. Ngayu - Kalimantan Barat
239. Nias - Sumatra Utara
240. NilaTeun Serui - Maluku
241. Numfor - Papua
242. Obi - Maluku
243. Orang Depok - DKI Jakarta
244. Orang Laut - Sumatra
245. Orang Tugu - DKI Jakarta
246. Osing - Jawa Timur
247. Ot Danum Ngayu - Kalimantan Barat
248. Ot Danum Punan - Kalimantan Tengah
249. Pakambia - Sulawesi
250. Pakawa - Sulawesi
251. Pakpak - Sumatra
252. Palembang - Sumatra Selatan
253. Palu - Sulawesi Tengah
254. Pamona - Sulawesi Tengah
255. Pantai Timur - Papua
256. Pantar - NTB/NTT
257. Panyalai - Sumatra Barat
258. Parigi - Sulawesi
259. Patai - Kalimantan
260. Patani - Maluku
261. Patasiwa Putih - Maluku
262. Patasiwa Hitam - Maluku
263. Pebato - Sulawesi
264. Penghulu - Jambi
265. Penyabong - Kalimantan
266. Piliang - Sumatra Barat
267. Pipikoro - Sulawesi
268. Pisang - Sumatra Barat
269. Pitu Ulama - Sulawesi
270. Prihing - Kalimantan
271. Ponosokan - Sulawesi
272. Pontianak - Kalimantan
273. Poso - Sulawesi
274. Pulo - Sumatra
275. Punan - kalimantan Tengah /Kalimantan Barat
276. Pu'u Mboto - Sulawesi
277. Rampi - Sulawesi
278. Ranau - Sumatra Selatan
279. Rato - Sulawesi
280. Rawas - Sumatra Selatan/Lampung
281. Rejang - Bengkulu/Sumatra Selatan
282. Riau - Sumatra
283. Riung - NTB/NTT
284. Roma Dama - Maluku
285. Rongkong - Sulawesi
286. Rote - Nusa Tenggara Timur
287. Ruma - NTB/NTT
288. Saban - Kalimantan
289. Sabu - Nusa Tenggara Timur
290. Sadang - Sulawesi
291. Sadong Dayak - Kalimantan
292. Sakai - Riau
293. Salawati - Papua
294. Saluan - Sulawesi
295. Salu Maogge - Sulawesi
296. Samarinda - Kalimantan
297. Samin - Jawa Tengah
298. Sangau - NTB/NTT
299. Sangir - Sulawesi Utara
300. Sapudi - Jawa
301. Saputan - Kalimantan
302. Sami - Papua
303. Saruyan - Kalimantan
304. Sasak - NusaTenggara Barat
305. Schouten - Papua
306. Sebop - Kalimantan
307. Segal - Kalimantan
308. Sekadau - kalimantan
309. Sekah - Sumatra
310. Seko - Sulawesi
311. Selaru - Maluku
312. Selayar - Sulawesi
313. Samendo - Lampung
314. Senggi - Papua
315. Sentani - Papua
316. Seram - Maluku
317. Sermana - Maluku
318. Serua - Maluku
319. Serut - Papua
320. Seti - Maluku
321. Seumeulu - Sumatra
322. Siang - Kalimantan
323. Sichole - Sumatra
324. Sidin - Kalimantan
325. Sigi - Sulawesi
326. Sikka - NTB/NTT
327. Sikumbang - Sumatra Barat
328. Simalungun - Sumatra Utara
329. Simalur - Sumatra
330. Simelu - DI Aceh
331. Singkil - DI Aceh
332. Siong - Kalimantan
333. Sokah - Bengkulu
334. Solor - NTB/NTT
335. Sula - Maluku
336. Sumba - NusaTenggara Timur
337. Sumbawa - Nusa Tenggara Barat
338. Sunda - Jawa Timur
339. Tabuyan - Kalimantan
340. Tagal - Kalimantan
341. Talaud - Sulawesi
342. Tali Abu - Maluku
343. Talang - Riau
344. Tampus - Jawa
345. Tanibar - Maluku
346. Taman - Kalimantan
347. Tabe'e - Sulawesi
348. Tambelan - Sumatra
349. Tambak - Sumatra Barat
350. Tamiang - Di Aceh
351. Tangalan - Kalimantan
352. Tanjung - Sumatra Barat
353. Tapung - Sumatra
354. Tamonan - Kalimantan
355. Tarakan - Kalimantan
356. Tawaelia - Sulawesi
357. Teluk Jayapura - Papua
358. Tengger - Jawa Timur
359. Ternate -Maluku
360. Teun - Maluku
361. Tidung - Kalimantan Timur
362. Timur - Sumatra
363. Toala - Sulawesi
364. Toba - Sumatra Utara
365. To Balantik - Sulawesi
366. To Belo - Maluku
367. To Ganti - Sulawesi
368. To Gian - Sulawesi
369. Togitil - Maluku
370. Tojo - Sulawesi
371. To Laiwa - Sulawesi
372. To Landawe - Sulawesi
373. Toli - Toli - Sulawesi
374. To Loinang - Sulawesi
375. Tolour - Sulawesi
376. Tombolu - Sulawesi
377. To Mini - Sulawesi
378. To Mori - Sulawesi
379. Tompakawe - Sulawesi
380. Tondano - Sulawesi
381. Tonsawang - Sulawesi
382. Tonsea - Sulawesi
383. Tonsina - Sulawesi
384. Toraja - Sulawesi Selatan
385. Totemboan - Sulawesi
386. Treng - Kalimantan
387. Tring - Kalimantan
388. Uhundun - Papua
389. Ukit – Kalimantan
Sumber : http://www.anneahira.com/indonesia/suku-bangsa.htm
2. Abung - Sumatra
3. Aceh - DI Aceh
4. Adang - Kalimantan
5. Adonara - NTB/NTT
6. Akit - Sumatra
7. Alas - DI Aceh
8. Alifuru - Maluku
9. Alor Solor - NTB/NTT
10. Ambon - Maluku
11. Ampana - Sulawesi
12. Anak Dalam - Riau
13. Anabas - Sumatra
14. Aneuk Jame - Sumatra
15. Anggi - Papua
16. Angkola - Sumatra
17. Aput - Kalimantan
18. Arab - DKI Jakarta
19. Arguni - Papua
20. Aru - Maluku
21. Asmat - Papua
22. Atoni - NTB/NTT
23. Awiu - Papua
24. Ayou - Kalimantan
25. Bacan - Maluku
26. Bada - Sulawesi
27. Badar - Maluku
28. Bahau - Kalimantan
29. Bajau - Jambi
30. Bajo - Sulawesi
31. Baku - Sulawesi
32. Balantak - Sulawesi
33. Balatan - Sulawesi Tengah
34. Bali - Bali
35. Bali Aga - NTB/NTT
36. Banda - Maluku
37. Banggai - Sulawesi Tengah
38. Bangka - Sumatra
39. Banjar – Kalimantan Selatan
40. Banjar Hulu – Kalimantan Selatan
41. Banjar Kuala – Kalimantan Selatan
42. Banten - Jawa Barat
43. Bantenan - Sulawesi
44. Bantik - Sulawesi Utara
45. Banyak - Sumatra
46. Basap - Kalimantan
47. Batak - Sumatra
48. Batang Lupar - Kalimantan
49. Batanta - Papua
50. Batin - Jambi
51. Batu - Sumatra
52. Batu Blah - Kalimantan
53. Bawean - Jawa
54. Bela - Sumatra
55. Belang - Sulawesi
56. Belu - NTB/NTT
57. Bengkulu - Bengkulu
58. Benua - Sumatra
59. Berusu - Kalimantan Timur
60. Besoa - Sulawesi
61. Betawi - DKI Jakarta/Jawa Barat
62. Biaju - Kalimantan
63. Biak - Papua
64. Biasaya - Kalimantan
65. Biliton - Sumatra
66. Bima - NTB
67. Bituni - Papua
68. Bobongko - Sulawesi
69. Bodha - NTB/NTT
70. Boh - Kalimantan
71. Bolaang Mongondow - Sulawesi Selatan
72. Bonfia - Maluku
73. Bonai - Riau
74. Bugis - Sulawesi Selatan
75. Bukar, Dayak - Kalimantan
76. Bukar, Punan - Kalimantan
77. Bukit - Kalimantan
78. Bukitan - Kalimantan
79. Bukupai - Kalimantan Barat
80. Buli - Maluku
81. Bulungan - KalimantanTimur
82. Bungku - Sulawesi
83. Buol - Sulawesi
84. Buru -Maluku
85. Busang - Kalimantan
86. Buton - Sulawesi Tenggara
87. Buyu - Sulawesi
88. Caniago - Sumatra Barat
89. Cina - Jawa / Kalimantan / DKI Jakarta / Sumatra
90. Damar - Maluku/NTB/NTT
91. Dani - Papua
92. Darat - Sumatra
93. Dawan - NTT
94. Dayak – Kalimantan Barat / Kalimantan Tengah
95. Demta - Papua
96. Desa - Kalimantan
97. Dodongko - NTB/NTT
98. Dompo - NTB/NTT
99. Dusun - Kalimantan Barat
100. Ende - NTB/NTT
101. Enggano - Bengkulu
102. Flores - NTT
103. Furuaru - Maluku
104. Galela - Maluku
105. Gene - Maluku
106. Gayo - DI Aceh
107. Genyem - Papua
108. Gimpu - Sulawesi
109. Goram - Maluku
110. Gorontalo - Sulawesi Utara
111. Guai - Papua
112. Guci - Sumatra Barat
113. Halmahera -Maluku
114. Hattam - Papua
115. Helong - NTT
116. Hutan - Riau
117. Iban - Kalimantan
118. Iha - Papua
119. Jakui - Papua
120. Jambak - Sumatra Barat
121. Jambi - Jambi
122. Jawa - DI Yogyakarta /Jawa Timur/Jawa Teangah/Bali/Sumatra
123. Juru - Sumatra
124. Kabaena - Sulawesi
125. Kadayan - Kalimantan
126. Kahayan - Kalimantan
127. Kadipan - Sulawesi
128. Kaili - Sulawesi Tengah
129. Kalabit - Kalimantan
130. Kangean - JawaTengah
131. Kanowit - Kalimantan
132. Kapauku - Papua
133. Karimun - JawaTengah
134. Karo - Sumatra Utara
135. Katingan - Kalimantan
136. Kayan - Kalimantan Timur
137. Kayoa - Maluku
138. Kei - Maluku
139. Kelai - Kalimantan
140. Kenya - Kalimantan Timur
141. Kerinci - Jambi
142. Kiman - Papua
143. Kinadu - Sulawesi
144. Kinjing - Kalimantan
145. Kisan - Sumatra Selatan
146. Kisar - Sumatra Selatan
147. Klamantan - Kalimantan
148. Kluet - DI Aceh
149. Kodombuku - Sulawesi
150. Komering - Sumatra Selatan
151. KotaWaringin - Kalimantan
152. Koto - Sumetra Barat
153. Kubu -Jambi /Sumatra Selatan
154. Kulawi - Sulawesi Tengah
155. Kulisusu - Sulawesi Tenggara
156. Kupang - NTB/NTT
157. Lage - Sulawesi
158. Lajolo - Sulawesi
159. Laki - Sulawesi Tenggara
160. Lalaeo - Sulawesi
161. Lambatu - Sulawesi
162. Lampu - Sulawesi
163. Lampung - Lampung
164. Land Dayak - Kalimantan
165. Larantuka
166. Laras Fordata - Maluku
167. Laut - Riau
168. Lawangan - Kalimantan Barat
169. Lebong - Bengkulu
170. Leboni - Sulawesi
171. Lematang - Sumatra Selatan
172. Leti - NTB/NTT/Maluku
173. Lindu - Sulawesi
174. Lingga - Sumatra
175. Lio - NTB/NTT
176. Lisum - Kalimantan
177. Loda - Maluku
178. Loinang - Sulawesi
179. Lom - Sumatra
180. Lombleng - NTB/NTT
181. Lombok - NTB
182. Long Giat - Kalimantan
183. Long Kiput - Kalimantan
184. Long Wai - Kalimantan
185. Lundu - Kalimantan
186. Lugat - Kalimantan
187. Lubu - Sumatra
188. Maayan - Kalimantan Barat
189. Maba - Maluku
190. Madura - Jawa Timur/Bali
191. Mairasi - Papua
192. Makasar - Sulawesi Selatan
193. Makian - Maluku
194. Mamak - Sumatra
195. Mamasa - Sulawesi
196. Memberamo - Papua
197. Membaro - NTB/NTT
198. Mamuju - Sulawesi
199. Manado - Sulawesi Utara
200. Mandailing - Sumatra Utara
201. Mandar - Sulawesi Selatan
202. Manggarai - NTB/NTT
203. Mangki - Sulawesi
204. Manikion - Papua
205. Manyukei - Kalimantan
206. Mapia - Papua
207. Mapute - Sulawesi
208. Marea - NTB/NTT
209. Marindanim - Papua
210. Maronene - Sulawesi
211. Masenrempulu - Sulawesi
212. Matano - Sulawesi
213. Mbaluh - Kalimantan
214. Medan - Sumatra
215. Meibrat - Papua
216. Melanau - Kalimantan
217. Melayu - Kalimantan/Sumatra Utara/Riau/Jambi/Bengkulu/Lampung
218. Mengkongga - Sulawesi
219. Mimika - Papua
220. Minahasa - Sulawesi Utara
221. Minangkabau - Sumatra Barat
222. Misol - Papua
223. Moa - Maluku
224. Moni - Papua
225. Morotai - Maluku
226. Mualang - Kalimantan
227. Muna - Sulawesi Tenggara
228. Murik - Kalimantan
229. Murung - Kalimantan
230. Murut - Kalimantan Tengah
231. Musihulu - sumatra
232. Muyu - Papua
233. Mori - Sulawesi Tengah
234. Moronene - Sulawesi Tengah
235. Bage Keo - NTB/NTT
236. Nafuna - Sumatra
237. Ngada - NTB/NTT
238. Ngayu - Kalimantan Barat
239. Nias - Sumatra Utara
240. NilaTeun Serui - Maluku
241. Numfor - Papua
242. Obi - Maluku
243. Orang Depok - DKI Jakarta
244. Orang Laut - Sumatra
245. Orang Tugu - DKI Jakarta
246. Osing - Jawa Timur
247. Ot Danum Ngayu - Kalimantan Barat
248. Ot Danum Punan - Kalimantan Tengah
249. Pakambia - Sulawesi
250. Pakawa - Sulawesi
251. Pakpak - Sumatra
252. Palembang - Sumatra Selatan
253. Palu - Sulawesi Tengah
254. Pamona - Sulawesi Tengah
255. Pantai Timur - Papua
256. Pantar - NTB/NTT
257. Panyalai - Sumatra Barat
258. Parigi - Sulawesi
259. Patai - Kalimantan
260. Patani - Maluku
261. Patasiwa Putih - Maluku
262. Patasiwa Hitam - Maluku
263. Pebato - Sulawesi
264. Penghulu - Jambi
265. Penyabong - Kalimantan
266. Piliang - Sumatra Barat
267. Pipikoro - Sulawesi
268. Pisang - Sumatra Barat
269. Pitu Ulama - Sulawesi
270. Prihing - Kalimantan
271. Ponosokan - Sulawesi
272. Pontianak - Kalimantan
273. Poso - Sulawesi
274. Pulo - Sumatra
275. Punan - kalimantan Tengah /Kalimantan Barat
276. Pu'u Mboto - Sulawesi
277. Rampi - Sulawesi
278. Ranau - Sumatra Selatan
279. Rato - Sulawesi
280. Rawas - Sumatra Selatan/Lampung
281. Rejang - Bengkulu/Sumatra Selatan
282. Riau - Sumatra
283. Riung - NTB/NTT
284. Roma Dama - Maluku
285. Rongkong - Sulawesi
286. Rote - Nusa Tenggara Timur
287. Ruma - NTB/NTT
288. Saban - Kalimantan
289. Sabu - Nusa Tenggara Timur
290. Sadang - Sulawesi
291. Sadong Dayak - Kalimantan
292. Sakai - Riau
293. Salawati - Papua
294. Saluan - Sulawesi
295. Salu Maogge - Sulawesi
296. Samarinda - Kalimantan
297. Samin - Jawa Tengah
298. Sangau - NTB/NTT
299. Sangir - Sulawesi Utara
300. Sapudi - Jawa
301. Saputan - Kalimantan
302. Sami - Papua
303. Saruyan - Kalimantan
304. Sasak - NusaTenggara Barat
305. Schouten - Papua
306. Sebop - Kalimantan
307. Segal - Kalimantan
308. Sekadau - kalimantan
309. Sekah - Sumatra
310. Seko - Sulawesi
311. Selaru - Maluku
312. Selayar - Sulawesi
313. Samendo - Lampung
314. Senggi - Papua
315. Sentani - Papua
316. Seram - Maluku
317. Sermana - Maluku
318. Serua - Maluku
319. Serut - Papua
320. Seti - Maluku
321. Seumeulu - Sumatra
322. Siang - Kalimantan
323. Sichole - Sumatra
324. Sidin - Kalimantan
325. Sigi - Sulawesi
326. Sikka - NTB/NTT
327. Sikumbang - Sumatra Barat
328. Simalungun - Sumatra Utara
329. Simalur - Sumatra
330. Simelu - DI Aceh
331. Singkil - DI Aceh
332. Siong - Kalimantan
333. Sokah - Bengkulu
334. Solor - NTB/NTT
335. Sula - Maluku
336. Sumba - NusaTenggara Timur
337. Sumbawa - Nusa Tenggara Barat
338. Sunda - Jawa Timur
339. Tabuyan - Kalimantan
340. Tagal - Kalimantan
341. Talaud - Sulawesi
342. Tali Abu - Maluku
343. Talang - Riau
344. Tampus - Jawa
345. Tanibar - Maluku
346. Taman - Kalimantan
347. Tabe'e - Sulawesi
348. Tambelan - Sumatra
349. Tambak - Sumatra Barat
350. Tamiang - Di Aceh
351. Tangalan - Kalimantan
352. Tanjung - Sumatra Barat
353. Tapung - Sumatra
354. Tamonan - Kalimantan
355. Tarakan - Kalimantan
356. Tawaelia - Sulawesi
357. Teluk Jayapura - Papua
358. Tengger - Jawa Timur
359. Ternate -Maluku
360. Teun - Maluku
361. Tidung - Kalimantan Timur
362. Timur - Sumatra
363. Toala - Sulawesi
364. Toba - Sumatra Utara
365. To Balantik - Sulawesi
366. To Belo - Maluku
367. To Ganti - Sulawesi
368. To Gian - Sulawesi
369. Togitil - Maluku
370. Tojo - Sulawesi
371. To Laiwa - Sulawesi
372. To Landawe - Sulawesi
373. Toli - Toli - Sulawesi
374. To Loinang - Sulawesi
375. Tolour - Sulawesi
376. Tombolu - Sulawesi
377. To Mini - Sulawesi
378. To Mori - Sulawesi
379. Tompakawe - Sulawesi
380. Tondano - Sulawesi
381. Tonsawang - Sulawesi
382. Tonsea - Sulawesi
383. Tonsina - Sulawesi
384. Toraja - Sulawesi Selatan
385. Totemboan - Sulawesi
386. Treng - Kalimantan
387. Tring - Kalimantan
388. Uhundun - Papua
389. Ukit – Kalimantan
Sumber : http://www.anneahira.com/indonesia/suku-bangsa.htm
Rabu, Januari 13, 2010
Suku Bangsa Batak
Di propinsi Sumatera Utara terdapat berbagai suku bangsa yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Salah satu sukubangsa yang terbesar di daerah tersebut adalah suku Batak. Masyarakat Batak sebenarnya terdiri dari beberapa anak suku walaupun secara umum lebih sering hanya disebut orang Batak. Selain itu di propinsi ini juga berkembang sukubangsa Melayu di daerah pesisir timur dan suku bangsa Nias di Pulau Nias di sebelah Barat pulau Sumatera.
BATAK
Suku bangsa Batak diperkirakan merupakan keturunan kelompok Melayu Tua (Proto Melayu) yang bergerak dari daratan Asia Selatan, dalam upaya mereka mencari tempat yang lebih hangat pada masa Antar-Es. Gerakan nenek moyang kelompok Proto Melayu itu sebagian menetap di wilayah Sumatera Utara sekarang, dan sebagian lagi mewujudkan perjalanan ke Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan berdasarkan penelitian, sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan sampai ke Filipina.
Dalam perkembangannya, masyarakat yang sudah mulai bercocok tanam itu berpencar dan mendirikan pemukiman yang satu sama lain dipisahkan oleh pegunungan yang tinggi, jurang yang dalam, dan hutan yang lebat, sehingga kontak antar mereka sangat terbatas. Kurangnya interaksi diantara mereka boleh jadi juga disebabkan kerena masing-masing kelompok telah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga masing-masing mengembangkan pola adaptasi setempat yang kini menunjukkan keanekaan kebudayaan di Sumatera Utara. Orang Batak menganut sistem kekerabatan yang menghitung garis keturunan secara patrilineal, yaitu memperhitungkan anggota keluarga menurut garis keturunan dari ayah. OrangÂÂorang yang berasal dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga), pada orang Karo dinamakan sada bapa (satu keluarga), sedangkan pada orang Simalungun disebut sepanganan (satu keluarga). Sebermula mereka hidup dalam perkauman yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang mengusut garis keturunan dari ayah, dan mendiami satu kesatuan wilayah permukiman yang dikenal dengan huta atau lumban. Biasanya kesatuan kerabat itu berpangkal dari seorang kakek yang menjadi cikal bakal dan pendiri pemukiman, karenanya juga disebut saompu. Kelompok-kelompok kerabat luas terbatas saompu yang mempunyai hubungan seketurunan dengan nenek moyang yang nyata maupun yang fiktif membentuk kesatuan kerabat yang dikenal dengan nama marga.
Hubungan sosial dengan sesama marga diatur melalui hubungan perkawinan, terutama antara marga pemberi pengantin wanita (boru) dengan marga penerima pengantin wanita (hula-hula). Untuk mempertahankan kelestarian kelompok kerabat yang patrilineal, marga-marga tersebut tidak boleh tukar menukar mempelai. Karena itu hubungan perkawinan satu jurusan mamaksa setiap marga menjalin hubungan perkawinan dengan sekurang-kurangnya dua marga lain, yaitu dengan marga pemberi dan marga penerima mempelai wanita.
Marga-marga atau klen patrilineal secara keseluruhan mewujudkan sub-suku daripada sukubangsa Batak. Pertumbuhan penduduk dan persebaran mereka di wilayah pemukiman yang semakin luas serta pengaruh-pengaruh dari luar menyebabkan perkembangan pola-pola adaptasi bervariasi dan terwujud dalam keanekaragaman kebudayaan Batak dan sub-suku yang menggunakan dialek masing-masing.
Berlandaskan pada hubungan perkawinan yang tidak timbal-balik itulah masyarakat Batak mengatur hubungan sosial antarmarga dengan segala hak dan kewajibannya dalam segala kegiatan sosial mereka. Organisasi itu dikenal sebagai dalihan na tolu atau tiga tungku perapian. Marga pemberi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam upacara maupun kegiatan adat terhadap marga penerima mempelai wanita. Dengan demikian ada keseimbangan hubungan antara perorangan dengan kelompok yang menganut garis keturunan kebapakan. Walaupun seorang wanita yang menikah akan kehilangan segala hak dan kewajibannya dari hak marga asal dan berpindah mengikuti kelompok kerabat suami, namun marga asal tetap mendapat kehormatan sebagai pemberi mempelai wanita yang amat penting artinya sebagai penerus generasi.
Sistem religi yang dianggap asli oleh para pendukungnya ialah sipelebegu. Menurut keyakinan penganutnya, alam semesta beserta isinya ini semula diciptakan oleh Ompu Mulajadi Nabolon yang berdiam di langit lapis ke-tujuh. Dunia dibagi atas banua ginjang yang dikuasai oleh Batara Guru, dan banua tonga yang dikuasai oleh Mangala Bulan. Selain itu orang Batak percaya akan adanya tondi (jiwa) dan begu (roh atau arwah) disekeliling tempat hidup manusia.
Angkola Mandailing
Orang Angkola atau dikenal juga sebagai orang Mandailing adalah salah satu sub-sukubangsa Batak yang mendiami daerah Angkola, Padang Lawas, Batang Toru, dan Sibolga, Mandailing, Ulu Pakatan, serta selatan Padang Lawas. Pada masa sekarang wilayah itu termasuk ke dalam Kabupaten Tapanuli Selatan. Jumlah populasinya diperkirakan sekitar 700.000 jiwa.
Dairi Pakpak
Orang Dairi dan orang Pakpak biasanya dianggap sama saja oleh masyarakat luar. akan tetapi menurut pengakuan mereka sendiri masing-masing berbeda dalam kebudayaan. Sub-suku ini mempunyai populasi sekitar 200.000 jiwa, dan mendiami wilayah Kabupaten Dairi.
Toba
Orang Toba mendiami daerah sekitar danau Toba, pulau Samosir, dataran tinggi Toba, Silindung, sekitar Barus dan Sibolga sampai ke daerah pegunungan Bukit Barisan. Antara Pahae dan Habinsaran di Sumatera Utara. Wilayah ini sekarang termasuk ke dalam Kabupaten Tapanuli Utara. Jumlah populasi sekarang sekitar 700.000 jiwa, dan mereka mengembangkan variasi lokal kebudayaan dengan ciri-ciri yang menyolok di bidang arsitektur perumahan.
Simalungun
Kata "Simalungun" sebagai nama daerah dan nama sukubangsa baru timbul sejak abad ke-18, yakni sesudah dibentuk oleh Dinasti Tuan Sisingamangaraja, raja Batak pada waktu itu. Simalungun atau Sibalungun berarti "sunyi" atau "lengang", maksudnya adalah "negeri yang ditinggalkan". Memang pada masa itu daerah ini ditinggalkan oleh rajanya yang bernama Nagur. Oleh orang Batak yang lain Tanah Simalungun disebut juga "Tano Jau", yang didiami oleh orang-orang "Jau". Sebutan orang "Jau" untuk menunjuk orang-orang Batak asli dari sekitar wilayah Danau Toba yang "me-melayu-kan diri" ke daerah rantau dan menyatu dengan orang Melayu.
Saat ini sebagian besar orang Simalungun mendiami daerah Kabupaten Simalungun, dan di Kotamadya Pemantang Siantar. Jumlah populasinya tahun 1975 sekitar 891.000 jiwa.
Karo
Merupakan salah satu sub-sukubangsa Batak yang bermukim di dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan Dairi. Sebagian besar orang Karo masih tinggal di desaÂÂdesa (kuta), yang juga merupakan kesatuan teritorial yang dihuni oleh beberapa klen (merga) yang berbeda. Dalam sebuah kua terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Sebuah rumah adat biasanya dihuni oleh 4 - 8 keluarga batih (jabu), yang terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Jabu merupakan organisasi sosial dan ekonomi terpenting pada masyarakat karo.
Matapencaharian utama orang Karo adalah bercocok tanam di sawah, sedangkan sistem perladangan yang pernah dijalankan sudah hampir hilang sama sekali. Peternakan juga dilakukan masyarakat, terutama pemeliharaan kerbau dan babi. Kerbau diperlukan untuk membajak sawah, sedangkan babi selain untuk dikonsumsi juga di manfaatkan dalam pesta adat.
Dalam kehidupan orang Karo, hubungan kekerabatan menjadi unsur terpenting yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan kekerabatan dihitung menurut garis laki-laki (patrilineal). Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut jabu, yang juga digunakan untuk menyebut keluarga luas virilokal. Sedangkan kelompok kekerabatan yang tersebar adalah merga atau klen. Orang Karo mengenal lima klen besar, yaitu Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Hubungan di antara kelompok-kelompok kekerabatan didasarkan atau suatu prinsip yang disebut sangkep sitelu (tiga yang utuh). Prinsip ini menyangkut tiga kelompok kerabat, yaitu kelompok kerabat sendiri (senina), kelompok pemberi gadis (Kalimbubu), dan kelompok penerima gadis (Anak beru). Kelompok pemberi gadis selalu lebih tinggi kedudukannya dari pada kelompok penerima gadis
Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat eksogami merge, dalam arti pertukaran wanita tidak terjadi secara timbal balik antara dua kelompok kerabat saja. Dalam kenyataannya kelompok kekerabatan yang benar-benar melakukan perkawinan exogami adalah kelompok kerabat sada nina. Orang karo mengenal pula adat perkawinan lakoman, yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki-laki almarhum suaminya; dan perkawinan gancibahu, yaitu perkawinan antara seorang duda dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Di tanah Karo, dan tanah Batak pada umumnya, sekalipun agama Islam, Kristen Protestan dan Katholik telah masuk, agama asli yang disebut perbegu tetap besar pengaruhnya. Bahkan orang Karo yang menganut agama asli ini lebih banyak daripada yang menganut agama-agama besar tersebut. Bentuk religi yang dijalankan adalah pemujaan terhadap roh kerabat yang telah meninggal. Orang Karo mengenal beberapa roh pelindung, antara lain : Mate sada wari, yaitu roh kerabat yang mati mendadak karena kecelakaan, terbunuh, dan sebagainya ; serta Batara Guru, yaitu roh bayi yang meninggal sebelum tumbuh giginya. Dalam sistem religi dilakukan serangkaian upacara adat yang dipimpin oleh seorang dukun wanita disebut Guru si baso.
Dialah yang menjadi perantara manusia dengan roh halus. Dalam suatu upacara pemujaan dukun wanita tersebut kemasukan roh sehingga dapat berhubungan langsung dengan roh yang ingin dihubungkan.
N I A S
Sukubangsa Nias mendiami pulau Nias yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Nias, propinsi Sumatera Utara. Pendidik asli pulau itu menamakan diri mereka Ono Niha, dan menyebut pulau mereka Tano Niha. Walaupun secara geografis wilayah kepulauan Nias amat sulit untuk dicapai, akan tetapi tidak berarti masyarakat dan kebudayaan Nias tidak pernah mengalami kontak-kontak budaya dengan masyarakat luar. Menurut catatan sejarah, orang Nias sudah mengadakan hubungan dagang dengan orang Aceh jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda. Demikian pula orang Nias sudah menjalin hubungan dagang dengan orang Minangkabau, Batak, dan Bugis. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa orang Nias tidak benar-benar "terasing" secara budaya, walaupun letak geografisnya kurang menguntungkan.
Menurut sementara pihak, orang Nias berasal dari tanah Batak. Hal ini berdasarkan atas adanya kesamaan bahasa, bentuk tubuh, serta adat istiadat mereka. Akan tetapi tidak pernah ada yang dapat menjelaskan kapan, mengapa, dan bagaimana orang Nias pindah ke kepulauan Nias.
Orang Nias sendiri beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit yang datang untuk mengatur dunia. Kepulauan Nias merupakan tempat tinggal mereka sejak awal. Hal ini ditandai dengan adanya daerah-daerah tertentu yang merupakan bukti tempat tinggal leluhur mereka. Sementara itu pihak lain mengatakan bahwa orang Nias dan Batak bukan berasal dari keturunan satu nenek moyang yang sama. Walaupun ada kesamaan bahwa mereka tidak di pengaruhi oleh kebudayaan Hindu, tetapi orang Nias tidak mengenal aksara sedangkan orang Batak mengenal jenis aksara yang mereka miliki sampai sekarang
Kebudayaan megalitik yang dikembangkan oleh masyarakat Nias bersama waktunya dengan perkembangan kebudayaan itu di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Kebudayaan ini bukan hanya terdapat di Nias. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa kebudayaan megalitik di Nias mempunyai persamaan dengan yang ada di Flores dan Sumba.
Berdasarkan lingkungan permukimannya, Orang Nias dapat dibedakan antara mereka yang berdiam di pesisir dan yang tinggal di daerah pedalaman. Oleh karma kegiatan sehari-hari kedua golongan ini tidak sama. Demikian pula ada perbedaan antara orang Nias yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan tersebut antar lain tercermin dalam kehidupan ekonomi. Orang Nias kota sudah mengembangkan bermacamÂÂmacam mata pencaharian, seperti berdagang, pegawai kantor, guru, dan sebagainya. Sebaliknya orang Nias di pedalaman masih mengandalkan hidup sebagai petani ladang.
Di kabupaten Nias terdapat dua kelompok bahasa besar, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Nias. Bahasa Nias masih sangat dominan pemakaiannya dalam pergaulan sehari-hari, sedangkan bahasa Indonesia masih terbatas pemakaiannya pada kalangan terpelajar saja.
Bahasa Nias merupakan bahasa asli dari penduduk pribumi kepulauan Nias. Dalam pemakaiannya, bahasa-bahasa yang terdapat di Nias dapat dibedakan menjadi:
1. Bahasa Utara ; digunakan di Nias bagian Utara, Timur dan Barat. Kelompok bahasa ini disebut bahasa Laraga.
2. Bahasa Selatan ; disebut juga bahasa Tello, dipakai di daerah Nias Selatan, Tengah dan Pulau Tello (dari Kepulauan Batu).
Perbedaan antara bahasa Utara dan Selatan hanya terletak pada dialek dan istilah lokal yang digunakan. Oleh karenanya para pemakai kedua bahasa itu dapat saling mengerti satu sama lain.
Orang Nias hidup berkelompok dalam kampung yang mereka sebut banua dan dipimpin oleh seorang siulu (bangsawan) yang mereka sebut tuhenori atau salawa (raja). Dalam sistem kekerabatan, kesatuan sosial terkecil adalah sangambato atau keluarga batik, terdiri atas ayah, ibu serta anak-anak yang belum menikah. Secara sosial keluarga batih tidak sepenting kesatuan kerabat yang hidup bersama dalam satu rumah (omo) dan menjalankan kegiatan sosial ekonomi bersama sebagai petani secara komunal. Mata pencaharian utama orang Nias adalah berladang tanaman ubi jalar, ubi kayu, kentang, dan sedikit padi. Mata pencaharian tambahannya adalah berburu dan meramu. Pada saat sekarang di pulau ini ditanam orang pula cengkeh dan semak nilam untuk diambil minyaknya.
Pada zaman dulu Nias pernah mencapai tingkat perkembangan kebudayaan megalitik yang mengagumkan. Hasil karya budaya batu itu sampai sekarang masih ditemui sisa-sisanya, seperti meja dan kursi batu, tugu-tugu dan arca arwah serta omo hada (rumah adat) yang didirikan di atas batu-batu besar pipih dan dengan tiang-tiang kayu besar, penuh pula dengan ukiran-ukiran kuno. Pada masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit Islam. Agama asli mereka disebut Malohe Adu (penyembah roh) yang didalamnya dikenal banyak dewa, diantaranya yang paling tinggi adalah Lowalangi. Mereka memuja roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu, rumah tempat pemujaan roh disebut osali. Pemimpin agama ash disebut ere. Pada masa sekarang nama lowalangi diambil untuk menyebut Tuhan Allah dan Osali menjadi nama gereja dalam konsep Kristen.
Melayu Langkat
Orang Melayu atau Melayu Deli mendiami daerah sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, antara lain di Kotamadya Medan, Binjai, Tebing Tinggi dan Tanjung Balai, serta di Kabupaten Deli Serdang. Langkat, Asahan, dan Labuhan Batu, di propinsi Sumatera Utara. Jumlah populasinya diperkirakan berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa lebih. Pada zaman dulu mereka pernah mendirikan beberapa kerajaan seperti Melayu Langkat, Melayu Aru, Melayu Deli Tua, dan Melayu Deli yang lenyap sekitar setengah abad yang lalu.
Karena di daerahnya banyak dibuka perkebunan besar maka orang Melayu kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun atau mengolah sendiri ladang mereka dengan cara-cara yang sederhana. Pertanian itu antara lain menghasilkan komoditi ekspor. seperti tembakau, kopi, karet, cengkeh, nenas, dan sebagainya. Hanya sebagian kecil yang masih suka menanam padi, walau masih diselingi dengan menanam tembakau. Keluarga intinya lebih senang mengembangkan rumah tangga sendiri. Walaupun pasangan baru umumnya tinggal di rumah orang tua pihak perempuan, namun mereka segera pindah begitu telah mempunyai seorang anak. Rumah baru biasanya didirikan dekat kelompok pihak suami, mungkin karena itu ada anggapan hahwa garis keturunan yang mereka pakai adalah patrilineal. Hanya orang Melayu yang diam di daerah Batubara yang cenderung menjalankan prinsip keturunan matrilineal, mungkin karena kuatnya pengaruh Minangkabau di zaman dulu.
http://www.tamanmini.com
BATAK
Suku bangsa Batak diperkirakan merupakan keturunan kelompok Melayu Tua (Proto Melayu) yang bergerak dari daratan Asia Selatan, dalam upaya mereka mencari tempat yang lebih hangat pada masa Antar-Es. Gerakan nenek moyang kelompok Proto Melayu itu sebagian menetap di wilayah Sumatera Utara sekarang, dan sebagian lagi mewujudkan perjalanan ke Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan berdasarkan penelitian, sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan sampai ke Filipina.
Dalam perkembangannya, masyarakat yang sudah mulai bercocok tanam itu berpencar dan mendirikan pemukiman yang satu sama lain dipisahkan oleh pegunungan yang tinggi, jurang yang dalam, dan hutan yang lebat, sehingga kontak antar mereka sangat terbatas. Kurangnya interaksi diantara mereka boleh jadi juga disebabkan kerena masing-masing kelompok telah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga masing-masing mengembangkan pola adaptasi setempat yang kini menunjukkan keanekaan kebudayaan di Sumatera Utara. Orang Batak menganut sistem kekerabatan yang menghitung garis keturunan secara patrilineal, yaitu memperhitungkan anggota keluarga menurut garis keturunan dari ayah. OrangÂÂorang yang berasal dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga), pada orang Karo dinamakan sada bapa (satu keluarga), sedangkan pada orang Simalungun disebut sepanganan (satu keluarga). Sebermula mereka hidup dalam perkauman yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang mengusut garis keturunan dari ayah, dan mendiami satu kesatuan wilayah permukiman yang dikenal dengan huta atau lumban. Biasanya kesatuan kerabat itu berpangkal dari seorang kakek yang menjadi cikal bakal dan pendiri pemukiman, karenanya juga disebut saompu. Kelompok-kelompok kerabat luas terbatas saompu yang mempunyai hubungan seketurunan dengan nenek moyang yang nyata maupun yang fiktif membentuk kesatuan kerabat yang dikenal dengan nama marga.
Hubungan sosial dengan sesama marga diatur melalui hubungan perkawinan, terutama antara marga pemberi pengantin wanita (boru) dengan marga penerima pengantin wanita (hula-hula). Untuk mempertahankan kelestarian kelompok kerabat yang patrilineal, marga-marga tersebut tidak boleh tukar menukar mempelai. Karena itu hubungan perkawinan satu jurusan mamaksa setiap marga menjalin hubungan perkawinan dengan sekurang-kurangnya dua marga lain, yaitu dengan marga pemberi dan marga penerima mempelai wanita.
Marga-marga atau klen patrilineal secara keseluruhan mewujudkan sub-suku daripada sukubangsa Batak. Pertumbuhan penduduk dan persebaran mereka di wilayah pemukiman yang semakin luas serta pengaruh-pengaruh dari luar menyebabkan perkembangan pola-pola adaptasi bervariasi dan terwujud dalam keanekaragaman kebudayaan Batak dan sub-suku yang menggunakan dialek masing-masing.
Berlandaskan pada hubungan perkawinan yang tidak timbal-balik itulah masyarakat Batak mengatur hubungan sosial antarmarga dengan segala hak dan kewajibannya dalam segala kegiatan sosial mereka. Organisasi itu dikenal sebagai dalihan na tolu atau tiga tungku perapian. Marga pemberi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam upacara maupun kegiatan adat terhadap marga penerima mempelai wanita. Dengan demikian ada keseimbangan hubungan antara perorangan dengan kelompok yang menganut garis keturunan kebapakan. Walaupun seorang wanita yang menikah akan kehilangan segala hak dan kewajibannya dari hak marga asal dan berpindah mengikuti kelompok kerabat suami, namun marga asal tetap mendapat kehormatan sebagai pemberi mempelai wanita yang amat penting artinya sebagai penerus generasi.
Sistem religi yang dianggap asli oleh para pendukungnya ialah sipelebegu. Menurut keyakinan penganutnya, alam semesta beserta isinya ini semula diciptakan oleh Ompu Mulajadi Nabolon yang berdiam di langit lapis ke-tujuh. Dunia dibagi atas banua ginjang yang dikuasai oleh Batara Guru, dan banua tonga yang dikuasai oleh Mangala Bulan. Selain itu orang Batak percaya akan adanya tondi (jiwa) dan begu (roh atau arwah) disekeliling tempat hidup manusia.
Angkola Mandailing
Orang Angkola atau dikenal juga sebagai orang Mandailing adalah salah satu sub-sukubangsa Batak yang mendiami daerah Angkola, Padang Lawas, Batang Toru, dan Sibolga, Mandailing, Ulu Pakatan, serta selatan Padang Lawas. Pada masa sekarang wilayah itu termasuk ke dalam Kabupaten Tapanuli Selatan. Jumlah populasinya diperkirakan sekitar 700.000 jiwa.
Dairi Pakpak
Orang Dairi dan orang Pakpak biasanya dianggap sama saja oleh masyarakat luar. akan tetapi menurut pengakuan mereka sendiri masing-masing berbeda dalam kebudayaan. Sub-suku ini mempunyai populasi sekitar 200.000 jiwa, dan mendiami wilayah Kabupaten Dairi.
Toba
Orang Toba mendiami daerah sekitar danau Toba, pulau Samosir, dataran tinggi Toba, Silindung, sekitar Barus dan Sibolga sampai ke daerah pegunungan Bukit Barisan. Antara Pahae dan Habinsaran di Sumatera Utara. Wilayah ini sekarang termasuk ke dalam Kabupaten Tapanuli Utara. Jumlah populasi sekarang sekitar 700.000 jiwa, dan mereka mengembangkan variasi lokal kebudayaan dengan ciri-ciri yang menyolok di bidang arsitektur perumahan.
Simalungun
Kata "Simalungun" sebagai nama daerah dan nama sukubangsa baru timbul sejak abad ke-18, yakni sesudah dibentuk oleh Dinasti Tuan Sisingamangaraja, raja Batak pada waktu itu. Simalungun atau Sibalungun berarti "sunyi" atau "lengang", maksudnya adalah "negeri yang ditinggalkan". Memang pada masa itu daerah ini ditinggalkan oleh rajanya yang bernama Nagur. Oleh orang Batak yang lain Tanah Simalungun disebut juga "Tano Jau", yang didiami oleh orang-orang "Jau". Sebutan orang "Jau" untuk menunjuk orang-orang Batak asli dari sekitar wilayah Danau Toba yang "me-melayu-kan diri" ke daerah rantau dan menyatu dengan orang Melayu.
Saat ini sebagian besar orang Simalungun mendiami daerah Kabupaten Simalungun, dan di Kotamadya Pemantang Siantar. Jumlah populasinya tahun 1975 sekitar 891.000 jiwa.
Karo
Merupakan salah satu sub-sukubangsa Batak yang bermukim di dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan Dairi. Sebagian besar orang Karo masih tinggal di desaÂÂdesa (kuta), yang juga merupakan kesatuan teritorial yang dihuni oleh beberapa klen (merga) yang berbeda. Dalam sebuah kua terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Sebuah rumah adat biasanya dihuni oleh 4 - 8 keluarga batih (jabu), yang terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Jabu merupakan organisasi sosial dan ekonomi terpenting pada masyarakat karo.
Matapencaharian utama orang Karo adalah bercocok tanam di sawah, sedangkan sistem perladangan yang pernah dijalankan sudah hampir hilang sama sekali. Peternakan juga dilakukan masyarakat, terutama pemeliharaan kerbau dan babi. Kerbau diperlukan untuk membajak sawah, sedangkan babi selain untuk dikonsumsi juga di manfaatkan dalam pesta adat.
Dalam kehidupan orang Karo, hubungan kekerabatan menjadi unsur terpenting yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan kekerabatan dihitung menurut garis laki-laki (patrilineal). Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut jabu, yang juga digunakan untuk menyebut keluarga luas virilokal. Sedangkan kelompok kekerabatan yang tersebar adalah merga atau klen. Orang Karo mengenal lima klen besar, yaitu Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Hubungan di antara kelompok-kelompok kekerabatan didasarkan atau suatu prinsip yang disebut sangkep sitelu (tiga yang utuh). Prinsip ini menyangkut tiga kelompok kerabat, yaitu kelompok kerabat sendiri (senina), kelompok pemberi gadis (Kalimbubu), dan kelompok penerima gadis (Anak beru). Kelompok pemberi gadis selalu lebih tinggi kedudukannya dari pada kelompok penerima gadis
Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat eksogami merge, dalam arti pertukaran wanita tidak terjadi secara timbal balik antara dua kelompok kerabat saja. Dalam kenyataannya kelompok kekerabatan yang benar-benar melakukan perkawinan exogami adalah kelompok kerabat sada nina. Orang karo mengenal pula adat perkawinan lakoman, yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki-laki almarhum suaminya; dan perkawinan gancibahu, yaitu perkawinan antara seorang duda dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Di tanah Karo, dan tanah Batak pada umumnya, sekalipun agama Islam, Kristen Protestan dan Katholik telah masuk, agama asli yang disebut perbegu tetap besar pengaruhnya. Bahkan orang Karo yang menganut agama asli ini lebih banyak daripada yang menganut agama-agama besar tersebut. Bentuk religi yang dijalankan adalah pemujaan terhadap roh kerabat yang telah meninggal. Orang Karo mengenal beberapa roh pelindung, antara lain : Mate sada wari, yaitu roh kerabat yang mati mendadak karena kecelakaan, terbunuh, dan sebagainya ; serta Batara Guru, yaitu roh bayi yang meninggal sebelum tumbuh giginya. Dalam sistem religi dilakukan serangkaian upacara adat yang dipimpin oleh seorang dukun wanita disebut Guru si baso.
Dialah yang menjadi perantara manusia dengan roh halus. Dalam suatu upacara pemujaan dukun wanita tersebut kemasukan roh sehingga dapat berhubungan langsung dengan roh yang ingin dihubungkan.
N I A S
Sukubangsa Nias mendiami pulau Nias yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Nias, propinsi Sumatera Utara. Pendidik asli pulau itu menamakan diri mereka Ono Niha, dan menyebut pulau mereka Tano Niha. Walaupun secara geografis wilayah kepulauan Nias amat sulit untuk dicapai, akan tetapi tidak berarti masyarakat dan kebudayaan Nias tidak pernah mengalami kontak-kontak budaya dengan masyarakat luar. Menurut catatan sejarah, orang Nias sudah mengadakan hubungan dagang dengan orang Aceh jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda. Demikian pula orang Nias sudah menjalin hubungan dagang dengan orang Minangkabau, Batak, dan Bugis. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa orang Nias tidak benar-benar "terasing" secara budaya, walaupun letak geografisnya kurang menguntungkan.
Menurut sementara pihak, orang Nias berasal dari tanah Batak. Hal ini berdasarkan atas adanya kesamaan bahasa, bentuk tubuh, serta adat istiadat mereka. Akan tetapi tidak pernah ada yang dapat menjelaskan kapan, mengapa, dan bagaimana orang Nias pindah ke kepulauan Nias.
Orang Nias sendiri beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit yang datang untuk mengatur dunia. Kepulauan Nias merupakan tempat tinggal mereka sejak awal. Hal ini ditandai dengan adanya daerah-daerah tertentu yang merupakan bukti tempat tinggal leluhur mereka. Sementara itu pihak lain mengatakan bahwa orang Nias dan Batak bukan berasal dari keturunan satu nenek moyang yang sama. Walaupun ada kesamaan bahwa mereka tidak di pengaruhi oleh kebudayaan Hindu, tetapi orang Nias tidak mengenal aksara sedangkan orang Batak mengenal jenis aksara yang mereka miliki sampai sekarang
Kebudayaan megalitik yang dikembangkan oleh masyarakat Nias bersama waktunya dengan perkembangan kebudayaan itu di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Kebudayaan ini bukan hanya terdapat di Nias. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa kebudayaan megalitik di Nias mempunyai persamaan dengan yang ada di Flores dan Sumba.
Berdasarkan lingkungan permukimannya, Orang Nias dapat dibedakan antara mereka yang berdiam di pesisir dan yang tinggal di daerah pedalaman. Oleh karma kegiatan sehari-hari kedua golongan ini tidak sama. Demikian pula ada perbedaan antara orang Nias yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan tersebut antar lain tercermin dalam kehidupan ekonomi. Orang Nias kota sudah mengembangkan bermacamÂÂmacam mata pencaharian, seperti berdagang, pegawai kantor, guru, dan sebagainya. Sebaliknya orang Nias di pedalaman masih mengandalkan hidup sebagai petani ladang.
Di kabupaten Nias terdapat dua kelompok bahasa besar, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Nias. Bahasa Nias masih sangat dominan pemakaiannya dalam pergaulan sehari-hari, sedangkan bahasa Indonesia masih terbatas pemakaiannya pada kalangan terpelajar saja.
Bahasa Nias merupakan bahasa asli dari penduduk pribumi kepulauan Nias. Dalam pemakaiannya, bahasa-bahasa yang terdapat di Nias dapat dibedakan menjadi:
1. Bahasa Utara ; digunakan di Nias bagian Utara, Timur dan Barat. Kelompok bahasa ini disebut bahasa Laraga.
2. Bahasa Selatan ; disebut juga bahasa Tello, dipakai di daerah Nias Selatan, Tengah dan Pulau Tello (dari Kepulauan Batu).
Perbedaan antara bahasa Utara dan Selatan hanya terletak pada dialek dan istilah lokal yang digunakan. Oleh karenanya para pemakai kedua bahasa itu dapat saling mengerti satu sama lain.
Orang Nias hidup berkelompok dalam kampung yang mereka sebut banua dan dipimpin oleh seorang siulu (bangsawan) yang mereka sebut tuhenori atau salawa (raja). Dalam sistem kekerabatan, kesatuan sosial terkecil adalah sangambato atau keluarga batik, terdiri atas ayah, ibu serta anak-anak yang belum menikah. Secara sosial keluarga batih tidak sepenting kesatuan kerabat yang hidup bersama dalam satu rumah (omo) dan menjalankan kegiatan sosial ekonomi bersama sebagai petani secara komunal. Mata pencaharian utama orang Nias adalah berladang tanaman ubi jalar, ubi kayu, kentang, dan sedikit padi. Mata pencaharian tambahannya adalah berburu dan meramu. Pada saat sekarang di pulau ini ditanam orang pula cengkeh dan semak nilam untuk diambil minyaknya.
Pada zaman dulu Nias pernah mencapai tingkat perkembangan kebudayaan megalitik yang mengagumkan. Hasil karya budaya batu itu sampai sekarang masih ditemui sisa-sisanya, seperti meja dan kursi batu, tugu-tugu dan arca arwah serta omo hada (rumah adat) yang didirikan di atas batu-batu besar pipih dan dengan tiang-tiang kayu besar, penuh pula dengan ukiran-ukiran kuno. Pada masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit Islam. Agama asli mereka disebut Malohe Adu (penyembah roh) yang didalamnya dikenal banyak dewa, diantaranya yang paling tinggi adalah Lowalangi. Mereka memuja roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu, rumah tempat pemujaan roh disebut osali. Pemimpin agama ash disebut ere. Pada masa sekarang nama lowalangi diambil untuk menyebut Tuhan Allah dan Osali menjadi nama gereja dalam konsep Kristen.
Melayu Langkat
Orang Melayu atau Melayu Deli mendiami daerah sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, antara lain di Kotamadya Medan, Binjai, Tebing Tinggi dan Tanjung Balai, serta di Kabupaten Deli Serdang. Langkat, Asahan, dan Labuhan Batu, di propinsi Sumatera Utara. Jumlah populasinya diperkirakan berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa lebih. Pada zaman dulu mereka pernah mendirikan beberapa kerajaan seperti Melayu Langkat, Melayu Aru, Melayu Deli Tua, dan Melayu Deli yang lenyap sekitar setengah abad yang lalu.
Karena di daerahnya banyak dibuka perkebunan besar maka orang Melayu kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun atau mengolah sendiri ladang mereka dengan cara-cara yang sederhana. Pertanian itu antara lain menghasilkan komoditi ekspor. seperti tembakau, kopi, karet, cengkeh, nenas, dan sebagainya. Hanya sebagian kecil yang masih suka menanam padi, walau masih diselingi dengan menanam tembakau. Keluarga intinya lebih senang mengembangkan rumah tangga sendiri. Walaupun pasangan baru umumnya tinggal di rumah orang tua pihak perempuan, namun mereka segera pindah begitu telah mempunyai seorang anak. Rumah baru biasanya didirikan dekat kelompok pihak suami, mungkin karena itu ada anggapan hahwa garis keturunan yang mereka pakai adalah patrilineal. Hanya orang Melayu yang diam di daerah Batubara yang cenderung menjalankan prinsip keturunan matrilineal, mungkin karena kuatnya pengaruh Minangkabau di zaman dulu.
http://www.tamanmini.com
Selasa, Januari 12, 2010
Suku Bangsa Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Daftar isi [sembunyikan]
1 Wilayah
2 Bahasa
3 Asal-usul
4 Kepercayaan
5 Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
6 Pemerintahan
7 Mata pencaharian
8 Interaksi dengan masyarakat luar
9 Rujukan
[sunting] Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
[sunting] Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
[sunting] Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
[sunting] Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
[sunting] Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
[sunting] Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
[sunting] Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
[sunting] Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Baduy_(Indonesia)
Daftar isi [sembunyikan]
1 Wilayah
2 Bahasa
3 Asal-usul
4 Kepercayaan
5 Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
6 Pemerintahan
7 Mata pencaharian
8 Interaksi dengan masyarakat luar
9 Rujukan
[sunting] Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
[sunting] Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
[sunting] Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
[sunting] Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
[sunting] Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
[sunting] Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
[sunting] Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
[sunting] Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Baduy_(Indonesia)
Senin, Januari 11, 2010
Prosesi Pernikahan Adat Solo adalah sebagai berikut:
Prosesi Pernikahan Adat Solo adalah sebagai berikut:
Anda juga bisa mendownload panduan acara pernikahan adat solo surakarta GRATIS
I. PELAKSANAAN PRA NIKAH ADAT SOLO
Nontoni
Bagian pertama dari rangkaian prosesi pernikahan solo adalah Nontoni. Proses nontoni ini dilakukan oleh pihak keluarga pria. Tujuan dari nontoni adalah untuk mengetahui status gadis yang akan dijodohkan dengan anaknya, apakah masih legan (sendiri) atau telah memiliki pilihan sendiri. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi benturan dengan pihak lain yang juga menghendaki si gadis menjadi menantunya. Bila dalam nontoni terdapat kecocokan dan juga mendapat ‘lampu hijau’ dari pihak gadis, tahap berikutnya akan dilaksanakan panembung.
Panembung
Panembung dapat diartikan sebagai melamar. Dalam melamar seorang gadis yang akan dijadikan jodoh, biasanya dilakukan sendiri oleh pihak pria disertai keluarga seperlunya. Tetapi bagian ini bisa juga diwakilkan kepada sesepuh atau orang yang dipercaya disertai beberapa orang teman sebagai saksi. Setelah pihak pria menyampaikan maksud kedatangannya, orangtua gadis tidak langsung menjawab boleh atau tidak putrinya diperistri. Untuk menjaga tata trapsila, jawaban yang disampaikan kepada keluarga laki-laki akan ditanyakan dahulu kepada sang putrid. Untuk itu pihak pria dimohon bersabar. Jawaban ini tentu saja dimaksudkan agat tidak mendahului kehendak yang akan menjalankan, yaitu sang gadis, juga agar taj menurunkan wibawa pihak keluarganya. Biasanya mereka akan meminta waktu untuk memberikan jawaban sekitar sepasar atau 5 hari.
Paningset
Apabila sang gadis bersedia dijodohkan dengan pria yang melamarnya, maka jawaban akan disampaikan kepada pihak keluarga pria, sekaligus memberikan perkiraan mengenai proses selanjutnya. Hal ini dimaksudkan agar kedua keluarga bisa menentukan hari baik untuk mewujudkan rencana pernikahan. Pada saat itu, orangtua pihak pria akan membuat ikatan pembicaraan lamaran dengan pasrah paningset (sarana pengikat perjodohan). Paningset diserahkan oleh pihak calon pengantin pria kepada pihak calon pengantin wanita paling lambat lima hari sebelum pernikahan. Namun belakangan, dengan alasan kepraktisan, acara srah-srahan paningset sering digabungkan bersamaan dengan upacara midodareni.
II. PELAKSANAAN PERNIKAHAN ADAT
Pelaksanaan pernikahan di Solo mempunyai tatanan yang memuat pokok-pokok tradisi Jawa sebagai berikut :
1. SOWAN LUHUR
Maksudnya adalah meminta doa restu dari para sesepuh dan piyagung serta melakukan ziarah kubur ke tempat leluhurnya.
2. WILUJENGAN
Merupakan ritual sebagai wujud permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya dalam melaksanakan hajat diberi keselamatan dan dijauhkan dari segala halangan. Dalam wilujengan ini memakai sarat berupa makanan dengan lauk-pauk, seperti ‘sekul wuduk’ dan ‘sekul golong’ beserta ingkung (ayam utuh). Dalam wilujengan ini semua sarat ubarampe enak dimakan oleh manusia.
3. PASANG TARUB
Merupakan tradisi membuat ‘bleketepe’ atau anyaman daun kelapa untuk dijadikan atap atau peneduh resepsi manton. Tatacara ini mengambil ‘wewarah’ atau ajaran Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram. Saat mempunyai hajat menikahkan anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan dkarena rumah Ki Ageng uang kecil tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar diteduhi dengan ‘payon’ itu ruang yang dipergunakan untuk para tamu Agung yang luas dan dapat menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari daun kelapa itu disebut ‘tarub’, berasal dari nama orang yang pertama membuatnya. Tatacara memasang tarub adalah bapak naik tangga sedangkan ibu memegangi tangga sambil membantu memberikan ‘bleketepe’ (anyaman daun kelapa). Tatacara ini menjadi perlambang gotong royong kedua orang tua yang menjadi pengayom keluarga.
4. PASANG TUWUHAN
Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak yang dijodohkan dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga.
Tuwuhan terdiri dari :
A. Pohon pisang raja yang buahnya sudah masuk
Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah diharapkan pasangan yang akan menikah telah mempunyai pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
B. Tebu wulung
Tebu wulung berwarna merah tua sebagai gambaran tuk-ing memanis atau sumber manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu bertindak dengan ‘kewicaksanaan’ atau kebijakan.
C. Cengkir gadhing
Merupakan symbol dari kandungan tempat si jabang bayi atau lambing keturunan.
D. Daun randu dari pari sewuli
Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehinggahal itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya.
E. Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan)
Seperti daun beringin yang melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan agar terbebas dari segala halangan.
5. SIRAMAN DAN SADE DAWET (DODOL DAWET)
Peralatan yang dipaka untuk siraman adalah sekar manca warna yang dimasukkan ke dalam jembangan, kelapa yang dibelah untuk gayung mandi, serta jajan pasar, dan tumpeng robyong. Air yang dipergunakan dalam siraman ini diambil dari tujuh sumber air, atau air tempuran. Orang yang menyiram berjumlah 9 orang sesepuh termasuk ayah. Jumlah sembilan tersebut menurut budaya Keraton Surakarta untuk mengenang keluhuran Wali Sanga, yang bermakna manunggalnya Jawa dan Islam. Selain itu angka sembilan juga bermakna ‘babakan hawa sanga’ yang harus dikendalikan.
Pelaksanaan tradisi ini
Masing-masing sesepuh melaksanakan siraman sebanyak tiga kali dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa yang diakhiri siraman oleh ayah mempelai wanita. Setelah itu bapak mempelai wanita memecah klenthing atau kendhi, sambil berucap ‘ora mecah kendhi nanging mecah pamore anakku’.
Seusaii siraman calon pengantin wanita dibopong (digendong) oleh ayah ibu menuju kamar pengantin. Selanjutnya sang Ayah menggunting tigas rikmo (sebagian rambut di tengkuk) calon pengantin wanita. Potongan rambut tersebut diberikan kepada sang ibu untuk disimpan ke dalam cepuk (tempat perhiasan), lalu ditanam di halaman rumah. Upacara ini bermakna membuang hal-hal kotor dari calon pengantin wanita. Kemudian rambut calon pengantin wanita. Kemudian rambut calon pengantin wanita dikeringkan sambil diharumi asap ratus, untuk selanjutnya ‘dihalubi-halubi’ atau dibuat cengkorong paes. Selanjutnya rambut dirias dengan ukel konde tanpa perhiasan, dan tanpa bunga.
Dodol Dawet
Pada saat calon pengantin dibuat cengkorong paes itu, kedua orangtua menjalankan tatacara ‘dodol dawet’ (menjual dawet). Disamping dawet itu sebagai hidangan, juga diambil makna dari cendol yang berbentuk bundar merupakan lambing kebulatan kehendak orangtua untuk menjodohkan anak.
Bagi orang yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengan ‘kreweng’ (pecahan genting) bukan dengan uang. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi. Yang melayani pembeli adalah ibu, sedangkan yang menerima pembayaran adalah bapak. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan menikah tentang bagaimana mencari nafkah sebagai suami istri , harus saling membantu.
6. SENGKERAN
Setelah calon pengantin wanita ‘dihaluh-halubi’ atau dibuat cengkorong paes lalu ‘disengker’ atau dipingit. Artinya tidak boleh keluar dari halaman rumah.
Hal ini untuk menjaga keselamatannya. Pemingitan ini dulu dilakukan selama seminggu, atau minimal 3 hari. Yang mana dalam masa ini, calon pengantin putri setiap malam dilulur dan mendapat banyak petuah mengenai bagaimana menjadi seorang istri dan ibu dalam menjalani kehidupan dan mendampingi suami, serta mengatur rumah tangga.
7. MIDODARENI ATAU MAJEMUKAN
Malam menjelang dilaksanakan ijab dan panggih disebur malam midodareni. Midodareni berasal dari kata widodari. Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa pada malam tersebut, para bidadari dari kayangan akan turun ke bumi dan bertandang ke kediaman calon pengantin wanita, untuk menyempurnakan dan mepercantik pengantin wanita.
Prosesi yang dilaksanakan pada malam midodareni
A. Jonggolan
Datangnya calon pengantin ke tempat calon mertua. ‘Njonggol’ diartikan sebagai menampakkan diri. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa dirinya dalam keadaan sehat dan selamat, dan hatinya telah mantap untuk menikahi putri mereka. Selama berada di rumah calon pengantin wanita, calon pengantin pria menunggu di beranda dan hanya disuguhi air putih.
B. Tantingan
Kedua orangtua mendatangi calon pengantin wanita di dalam kamar, menanyakan kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Maka calon pengantin wanita akan menyatakan ia ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua, tetapi mengajukan permintaan kepada sang ayah untuk mencarikan ‘kembar mayang’ sebagai isyarat perkawinan.
C. Turunnya Kembar Mayang
Turunnya kembar mayang merupakan saat sepasang kembar mayang dibuat. Kembar mayang ini milik para dewa yang menjadi persyaratan, yaitu sebagai sarana calon pengantin perempuan berumah tangga. Dalam kepercayaan Jawa, kembar mayang hanya dipinjam dari dewa, sehingga apabila sudah selesai dikembalikan lagi ke bumi atau dilabuh melalui air. Dua kembar mayang tersebut dinamakan Dewandaru dan Kalpandaru. Dewandaru mempunyai arti wahyu pengayoman. Maknanya adalah agar pengantin pria dapat memberikan pengayoman lahir dan batin kepada keluarganya. Sedangkan Kalpandaru, berasal dari kata kalpa yang artinya langgeng dan daru yang berarti wahyu. Maksudnya adalah wahyu kelanggengan, yaitu agar kehidupan rumah tangga dapat abadi selamanya.
D. Wilujengan Majemukan
Wilujengan Majemukan adalah silahturahmi antara keluarga calon pengantin pria dan wanita yang bermakna kerelaan kedua pihak untuk saling berbesanan. Selanjutnya ibu calon pengantin wanita menyerahkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang kepada ibu calon pengantin pria. Sesaat sebelum rombongan pulang, orang tua calon pengantin wanita memberikan kepada calon pengantin pria.
8. IJAB PANIKAH
Pelaksanaan ijab panikah ini mengacu pada agama yang dianut oleh pengantin. Dalam tata cara Keraton, saat ijab panikah dilaksanakan oleh penghulu, tempat duduk penghulu maupun mempelai diatur sebagai berikut :
• Pengantin laki-laki menghadap barat
• Naib di sebelah barat menghadap timur
• Wali menghadap ke selatan, dan para saksi bisa menyesuaikan
sumber:http://pernikahanadat.blogspot.com
Seni dan Budaya Suku Bangsa Aceh
Seni dan Budaya Suku Bangsa Aceh
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
Bustanussalatin
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Malem Diwa
Legenda Amat Rhah manyang
Legenda Putroe Nen
Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat
http://id.wikipedia.org/wiki/NAD#Seni_dan_Budaya
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
Bustanussalatin
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Malem Diwa
Legenda Amat Rhah manyang
Legenda Putroe Nen
Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat
http://id.wikipedia.org/wiki/NAD#Seni_dan_Budaya
ADAT ISTIADAT MINANGKABAU
edit Pendahuluan
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang ini. Bold text Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.
Pada tataran konseptional, adat Minang terbagi pada empat kategori:
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat istiadat
Adat mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan yang formal maupun yang tidak formal, sesuai dengan pepatah, bahwa sejak semula ada tiga adat nan tajoli:
Partamo sambah manyambah,
kaduo siriah jo pinang,
katigo baso jo basi.
Banamo adat sopan santun.
Tajoli dari kata 'joli', sejoli=sepasang, (joli=kereta tandu, teman sejoli berarti teman satu kereta tandu sehingga sangat akrab) satu set. Jadi ketiga bagian adat di atas adalah satu set yang berjalan seiring, diprektekkan dalam kehidupan sehari-hari orang Minang, baik orang biasa maupun para penghulu dan cerdik pandainya.
Secara legalistik atau kelembagaan, adat Minang dapat dirangkum dalam Limbago nan Sapuluah, yaitu:
1. Cupak nan duo
2. Kato nan ampek
3. Undang nan ampek
Cupak nan Duo ialah Cupak Usali dan Cupak Buatan Kato nan Ampek ialah:
1. Kato Pusako
2. Kato Mupakat
3. Kato Dahulu Batapati
4. Kato Kudian Kato Bacari
Undang nan Ampek ialah:
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang Dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluah
edit Adat Minang pada tataran konseptual
Adat Minang mencakup suatu spektrum dari yang paling umum hingga yang paling khusus, dari yang paling permanen dan tetap hingga yang paling mercurial dan sering berubah-ubah, bahkan ad-hoc. Di sini adat Minang disebut Adat nan Ampek.
1). Adat nan Sabana Adat, adat yang paling stabil dan umum, dan sebenarnya berlaku bukan hanya di Minangkabau saja, melainkan di seluruh alam semesta ini. Disepakati bahwa adat yang sebenarnya adat adalah Hukum Alam atau Sunnatullah, dan Hukum Allah yang tertuang di dalam ajaran Islam. Dengan mengambil Alam takambang menjadi guru adat Minang dapat menjamin kompatibilitasnya untuk segala zaman dan dengan demikian menjaga kelangsungannya di hadapan budaya asing yang melanda. Masuknya agama Islam ke Minangkabau, juga telah melengkapi Adat Minang itu menjadi kesatuan yang mencakup unsur duniawi dan unsur transedental.
2). Adat nan Diadatkan. Adat Minang menjadi adat Minang adalah karena suatu identitas dengan kesatuan etnis dan wilayah : adat Minang adalah adat yang diadatkan oleh Orang Minang, di Minangkabau. Jadi adat Minang itu sama di seluruh Minangkabau, dan setiap orang Minang be dan leluasa membuat penyesuaian-penyesuaian, maka adat itu akan bertahan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan sense of order. Tidak ada unsur paksaan yang akan terasa jika adat itu monolitik dan seragam di seluruh wilayah.
4). Adat Istiadat. Ialah adat yang terjadi dengan sendirinya karena interaksi antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dengan dunia luar. Dinamakan juga adat sepanjang jalan yang datang dan pergi, dan ditolerir selama tidak melanggar adat yang tiga di atas. Pengakuan akan adanya adat-sitiadat ini menjadikan adat Minang lebih komplit dan memberi ruang bagi anggota masyarakat untuk bereksperimen dengan hal-hal baru dan memperkaya budayanya.
Empat macam adat diatas adalah adat Minang semuanya dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Keempatnya tidak dapat dipisahkan, dan tidak dapat dikatakan adat Minang kalau kurang salah satu: Bukanlah adat Minang jika hanya terfokus pada adat istiadat akan tetapi melawan Hukum Alam. Dan buknlah pula adat Minang jika hanya berbicara tentang pengangkatan Penghulu, tetapi tidak memberi ruang untuk berlakunya adat istiadat yang dipakai oleh orang kebanyakan.
edit Adat Minang pada tataran praktis
Dikatakan dalam pepatah adat: Partamu sambah manyambah, kaduo siriah jo pinang, katigo baso jo basi. Banamo adat sopan santun.
Rangkaian kata-kata pusako ini menyatakan bahwa adat Minangkabau itu kalau dirangkum sebenarnaya dapat disingkat menjadi tiga hal:
1). Pasambahan.
Adat Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalah pasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Terkait dengan pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan.
2). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang fromalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkepannya seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato.
Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai. Karena itu, helat perkawinan termasuk dalam bab ini.
3). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
edit Kelembagaan Adat Minang
Satu hal yang sangat penting adalah bahwa bagi orang Minang, adat itu adalah suatu Limbago, atau lembaga, dan mengandung unsur-unsur yang merupakan lembaga juga. Penghulu adalah lembaga, urang sumando adalah lembaga. Demikian juga perkawinan, suku, hukum, semuanya adalah lembaga. Dalam pepatah dikatakan:
Adat diisi, limbago dituang.
Jadi adat adalah sesuatu yang diisi, dipenuhi dan dilaksanakan, sedangkan lembaga adalah suatu jabatan, suatu aturan dasar atau undang-undang yang dibentuk dan ditetapkan untuk jangka waktu yang lama. Lembaga tidak boleh sering diubah atau diganti, lembaga harus permanen -- dikiaskan dengan logam cor atau besi tuang.
[edit] Cupak nan Duo
Cupak adalah alat takaran. Alat takar lain sering disebut, seperti gantang, taraju, bungka. Maksud alat-alat ini adalah simbol lembaga hukum yang menjadi acuan bagi masayarakat dalam menjalankan dan mengembangkan adatnya. Sebagaimana masyarakat yang sederhana mungkin dapat melaksanakan perdagangan dengan ukuran kira-kira, misalnya menjual beras sekarung, jagung seongook dan seterunsnya, maka masyarakat yang teratur mangharuskan adanya takaran yang pasti, seperti liter, kilogram dan sebagainya. Maka cupak dan gantang, bungka nan piawai, serta taraju nan tak paliang, adalah lambang kateraturan yang diciptakan dengan lembaga adat.
Cupak nan dua adalah
1. Cupak Usali, dan
2. Cupak Buatan.
Kedua cupak ini menjamin change and continuity dalam adat Minang. Cupak Usali adalah adat yang baku dan permanen, sedang Cupak Buatan adalah adat yang ditetapkan oleh Orang Cadiak Pandai dan Ninik Mamak di nagari-nagari untuk merespon situasi dan perubahan zaman. Namun keduanya, yang tetap dan yang berubah, adalah lembaga yang diakui dalam adat.
Istilah cupak usali dan cupak buatan ini juga digunakan untuk mengkategorikan lembaga lainnya, apakah termasuk yang pusaka lama atau kesepakatan baru.
[edit] Kato nan Ampek
Kato adalah salah satu lembaga yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau: tanpa kato, adat Minang kehilangan legitimasinya. Dalam banyak masyarakat dahulu, kekuasaan dan undang-undang dipegang oleh raja karena keturunannya. Dalam masyarakat agamis, kekuasaan disandarkan pada otoritas wahyu, dan dalam masyarakat moderen yang demokratis, hukum didasarkan pada konstitusi dan undang-undang tertulis.
Bagi masyarakat Minang, kesahihan suatu hukum diukur dengan ada tidaknya kato-kato adat yang mendasarinya. Undang-undang dibuat oleh Cerdik Pandai, mufakat dibuat oleh seluruh kaum, hukum diputuskan oleh Penghulu. Akan tetapi landasan dan acuannya adalah kato. Suatu pernyataan atau keputusan haruslah sesuai dengan salah satu dari empat macam kato seperti di bawah ini:
1. Kato Pusako
2. Kato Mufakat
3. Kato dahulu batapati
4. Kato kudian kato bacari
Kato Pusako adalah pepatah petitih dan segala undang-undang adat Minangkabau yang sudah diwarisi turun temurun dan sama di seluruh alam Minangkabau. Kato Pusako ini merupakan acuan tertinggi dan tidak dapat diubah. Jumlahnya sangat banyak dan merupakan kompilasi kebijasanaan yang diambil dari falsafah Alam Takambang Jadi Guru.
Kato Mufakat adalah hasil mufakat kaum dan para penghulu yang harus dipatuhi dan diajalankan bersama-sama. Mufakat di Minangkabau haruslah dengan suara bulat, dan tidak dapat dilakukan voting. Dikatakan dalam pepatah adat:
Kemenakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka penghulu
Penghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka Nan Bana
Bana bardiri sandirinyo
Kato dahulu batapati, artinya keputusan yang sudah diambil dengan suara bulat itu haruslah ditepati dan dilaksanakan.
Kato kudian kato bacari, artinya keputusan itu ada kemungkinan tidak dapat dijalankan karena suatu hal. Dalam hal ini harus dicari pemecahannya, dilakukan musyawarah dan dibuat kesepakatan baru. Adalah bertentagan dengan adat jika suatu keputusan harus dipaksakan, tanpa memberi peluang untuk mengajukan keberatan atau banding.
[edit] Undang nan Ampek
Ninik moyang orang Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi dasar pemerintahan adat zaman dahulu, mencakup pemerintahan Luhak dan Rantau, pemerintahan Nagari dan peraturan yang berlaku untuk Suku dan Nagari. Juga peraturan untuk individu.
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluh
Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh Raja-raja.
Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik. Suatu nagari harus mencukupi dibidang ekonomi dan budaya: mempunyai sawah ladang, balai adat dan mesjid, sarana transportasi, air bersih, lapangan bermain.
Undang-undang dalam Nagari mengatur hak dan kewajiban penduduk Nagari: saling bertolong-tolongan, tidak menyakiti dan menganiaya orang lain, membayar hutang dan mengembalikan barang yang dipinjam, meminta maaf jika bersalah, dan sebagainya. Di sini sangat berperan mekanisme kontrol yang bernama rasa malu
Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang pidana: delapan bahagian merupakan tindak pidana, dan duabelas bagian merupakan tuduhan dan sangkaan.
Empat Undang-undang inilah pegangan para penghulu dalam menjalankan pemeritahan di Nagari-nagari, dengan dibantu oleh Manti, Malin dan Dubalang.
Sumber : http://minang.wikia.com/wiki/Adat
edit Pendahuluan
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang ini. Bold text Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.
Pada tataran konseptional, adat Minang terbagi pada empat kategori:
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat istiadat
Adat mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan yang formal maupun yang tidak formal, sesuai dengan pepatah, bahwa sejak semula ada tiga adat nan tajoli:
Partamo sambah manyambah,
kaduo siriah jo pinang,
katigo baso jo basi.
Banamo adat sopan santun.
Tajoli dari kata 'joli', sejoli=sepasang, (joli=kereta tandu, teman sejoli berarti teman satu kereta tandu sehingga sangat akrab) satu set. Jadi ketiga bagian adat di atas adalah satu set yang berjalan seiring, diprektekkan dalam kehidupan sehari-hari orang Minang, baik orang biasa maupun para penghulu dan cerdik pandainya.
Secara legalistik atau kelembagaan, adat Minang dapat dirangkum dalam Limbago nan Sapuluah, yaitu:
1. Cupak nan duo
2. Kato nan ampek
3. Undang nan ampek
Cupak nan Duo ialah Cupak Usali dan Cupak Buatan Kato nan Ampek ialah:
1. Kato Pusako
2. Kato Mupakat
3. Kato Dahulu Batapati
4. Kato Kudian Kato Bacari
Undang nan Ampek ialah:
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang Dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluah
edit Adat Minang pada tataran konseptual
Adat Minang mencakup suatu spektrum dari yang paling umum hingga yang paling khusus, dari yang paling permanen dan tetap hingga yang paling mercurial dan sering berubah-ubah, bahkan ad-hoc. Di sini adat Minang disebut Adat nan Ampek.
1). Adat nan Sabana Adat, adat yang paling stabil dan umum, dan sebenarnya berlaku bukan hanya di Minangkabau saja, melainkan di seluruh alam semesta ini. Disepakati bahwa adat yang sebenarnya adat adalah Hukum Alam atau Sunnatullah, dan Hukum Allah yang tertuang di dalam ajaran Islam. Dengan mengambil Alam takambang menjadi guru adat Minang dapat menjamin kompatibilitasnya untuk segala zaman dan dengan demikian menjaga kelangsungannya di hadapan budaya asing yang melanda. Masuknya agama Islam ke Minangkabau, juga telah melengkapi Adat Minang itu menjadi kesatuan yang mencakup unsur duniawi dan unsur transedental.
2). Adat nan Diadatkan. Adat Minang menjadi adat Minang adalah karena suatu identitas dengan kesatuan etnis dan wilayah : adat Minang adalah adat yang diadatkan oleh Orang Minang, di Minangkabau. Jadi adat Minang itu sama di seluruh Minangkabau, dan setiap orang Minang be dan leluasa membuat penyesuaian-penyesuaian, maka adat itu akan bertahan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan sense of order. Tidak ada unsur paksaan yang akan terasa jika adat itu monolitik dan seragam di seluruh wilayah.
4). Adat Istiadat. Ialah adat yang terjadi dengan sendirinya karena interaksi antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dengan dunia luar. Dinamakan juga adat sepanjang jalan yang datang dan pergi, dan ditolerir selama tidak melanggar adat yang tiga di atas. Pengakuan akan adanya adat-sitiadat ini menjadikan adat Minang lebih komplit dan memberi ruang bagi anggota masyarakat untuk bereksperimen dengan hal-hal baru dan memperkaya budayanya.
Empat macam adat diatas adalah adat Minang semuanya dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Keempatnya tidak dapat dipisahkan, dan tidak dapat dikatakan adat Minang kalau kurang salah satu: Bukanlah adat Minang jika hanya terfokus pada adat istiadat akan tetapi melawan Hukum Alam. Dan buknlah pula adat Minang jika hanya berbicara tentang pengangkatan Penghulu, tetapi tidak memberi ruang untuk berlakunya adat istiadat yang dipakai oleh orang kebanyakan.
edit Adat Minang pada tataran praktis
Dikatakan dalam pepatah adat: Partamu sambah manyambah, kaduo siriah jo pinang, katigo baso jo basi. Banamo adat sopan santun.
Rangkaian kata-kata pusako ini menyatakan bahwa adat Minangkabau itu kalau dirangkum sebenarnaya dapat disingkat menjadi tiga hal:
1). Pasambahan.
Adat Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalah pasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Terkait dengan pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan.
2). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang fromalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkepannya seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato.
Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai. Karena itu, helat perkawinan termasuk dalam bab ini.
3). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
edit Kelembagaan Adat Minang
Satu hal yang sangat penting adalah bahwa bagi orang Minang, adat itu adalah suatu Limbago, atau lembaga, dan mengandung unsur-unsur yang merupakan lembaga juga. Penghulu adalah lembaga, urang sumando adalah lembaga. Demikian juga perkawinan, suku, hukum, semuanya adalah lembaga. Dalam pepatah dikatakan:
Adat diisi, limbago dituang.
Jadi adat adalah sesuatu yang diisi, dipenuhi dan dilaksanakan, sedangkan lembaga adalah suatu jabatan, suatu aturan dasar atau undang-undang yang dibentuk dan ditetapkan untuk jangka waktu yang lama. Lembaga tidak boleh sering diubah atau diganti, lembaga harus permanen -- dikiaskan dengan logam cor atau besi tuang.
[edit] Cupak nan Duo
Cupak adalah alat takaran. Alat takar lain sering disebut, seperti gantang, taraju, bungka. Maksud alat-alat ini adalah simbol lembaga hukum yang menjadi acuan bagi masayarakat dalam menjalankan dan mengembangkan adatnya. Sebagaimana masyarakat yang sederhana mungkin dapat melaksanakan perdagangan dengan ukuran kira-kira, misalnya menjual beras sekarung, jagung seongook dan seterunsnya, maka masyarakat yang teratur mangharuskan adanya takaran yang pasti, seperti liter, kilogram dan sebagainya. Maka cupak dan gantang, bungka nan piawai, serta taraju nan tak paliang, adalah lambang kateraturan yang diciptakan dengan lembaga adat.
Cupak nan dua adalah
1. Cupak Usali, dan
2. Cupak Buatan.
Kedua cupak ini menjamin change and continuity dalam adat Minang. Cupak Usali adalah adat yang baku dan permanen, sedang Cupak Buatan adalah adat yang ditetapkan oleh Orang Cadiak Pandai dan Ninik Mamak di nagari-nagari untuk merespon situasi dan perubahan zaman. Namun keduanya, yang tetap dan yang berubah, adalah lembaga yang diakui dalam adat.
Istilah cupak usali dan cupak buatan ini juga digunakan untuk mengkategorikan lembaga lainnya, apakah termasuk yang pusaka lama atau kesepakatan baru.
[edit] Kato nan Ampek
Kato adalah salah satu lembaga yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau: tanpa kato, adat Minang kehilangan legitimasinya. Dalam banyak masyarakat dahulu, kekuasaan dan undang-undang dipegang oleh raja karena keturunannya. Dalam masyarakat agamis, kekuasaan disandarkan pada otoritas wahyu, dan dalam masyarakat moderen yang demokratis, hukum didasarkan pada konstitusi dan undang-undang tertulis.
Bagi masyarakat Minang, kesahihan suatu hukum diukur dengan ada tidaknya kato-kato adat yang mendasarinya. Undang-undang dibuat oleh Cerdik Pandai, mufakat dibuat oleh seluruh kaum, hukum diputuskan oleh Penghulu. Akan tetapi landasan dan acuannya adalah kato. Suatu pernyataan atau keputusan haruslah sesuai dengan salah satu dari empat macam kato seperti di bawah ini:
1. Kato Pusako
2. Kato Mufakat
3. Kato dahulu batapati
4. Kato kudian kato bacari
Kato Pusako adalah pepatah petitih dan segala undang-undang adat Minangkabau yang sudah diwarisi turun temurun dan sama di seluruh alam Minangkabau. Kato Pusako ini merupakan acuan tertinggi dan tidak dapat diubah. Jumlahnya sangat banyak dan merupakan kompilasi kebijasanaan yang diambil dari falsafah Alam Takambang Jadi Guru.
Kato Mufakat adalah hasil mufakat kaum dan para penghulu yang harus dipatuhi dan diajalankan bersama-sama. Mufakat di Minangkabau haruslah dengan suara bulat, dan tidak dapat dilakukan voting. Dikatakan dalam pepatah adat:
Kemenakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka penghulu
Penghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka Nan Bana
Bana bardiri sandirinyo
Kato dahulu batapati, artinya keputusan yang sudah diambil dengan suara bulat itu haruslah ditepati dan dilaksanakan.
Kato kudian kato bacari, artinya keputusan itu ada kemungkinan tidak dapat dijalankan karena suatu hal. Dalam hal ini harus dicari pemecahannya, dilakukan musyawarah dan dibuat kesepakatan baru. Adalah bertentagan dengan adat jika suatu keputusan harus dipaksakan, tanpa memberi peluang untuk mengajukan keberatan atau banding.
[edit] Undang nan Ampek
Ninik moyang orang Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi dasar pemerintahan adat zaman dahulu, mencakup pemerintahan Luhak dan Rantau, pemerintahan Nagari dan peraturan yang berlaku untuk Suku dan Nagari. Juga peraturan untuk individu.
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluh
Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh Raja-raja.
Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik. Suatu nagari harus mencukupi dibidang ekonomi dan budaya: mempunyai sawah ladang, balai adat dan mesjid, sarana transportasi, air bersih, lapangan bermain.
Undang-undang dalam Nagari mengatur hak dan kewajiban penduduk Nagari: saling bertolong-tolongan, tidak menyakiti dan menganiaya orang lain, membayar hutang dan mengembalikan barang yang dipinjam, meminta maaf jika bersalah, dan sebagainya. Di sini sangat berperan mekanisme kontrol yang bernama rasa malu
Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang pidana: delapan bahagian merupakan tindak pidana, dan duabelas bagian merupakan tuduhan dan sangkaan.
Empat Undang-undang inilah pegangan para penghulu dalam menjalankan pemeritahan di Nagari-nagari, dengan dibantu oleh Manti, Malin dan Dubalang.
Sumber : http://minang.wikia.com/wiki/Adat
Langganan:
Postingan (Atom)