Jumat, Juli 30, 2010
BSE SOSIOLOGI SMA
Bagi yang berminat silakan ambil saja ya, moga bermanfaat...
Kelas X silahkan download disini
Kelas XI silahkan download disini
Kelas XII silahkan download disini
Kelas X silahkan download disini
Kelas XI silahkan download disini
Kelas XII silahkan download disini
Label:
MATERI PELAJARAN SOSIOLOGI
Senin, Juli 26, 2010
Pendidikan Profetik Versi Kuntowijoyo
PENDAHULUAN
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi, dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan ummat Islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis.
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (Syafi’i Ma’arif). Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.
Dari pendidikan Islam yang masih cenderung bersifat dikotomis yang selama ini terpisah secara diametral, yakni pendidikan yang hanya menekankan dimensi transendensi tanpa memberi ruang gerak pada aspek humanisasi dan liberasi dan pendidikan Islam yang hanya menekankan dimensi humanisasi dan liberasi dengan mengabaikan aspek transendensi. Dalam teori sosialnya Kuntowijoyo (alm) Ilmu Sosial Profetik.
PEMBAHASAN
Profetik berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi1. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan. Dan mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Dan tepat menurut Ali Syari’ati “para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan”.
Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu -dalam rumusan Kunto- seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada2. Dia mengatakan: “saya kira keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa kita terbelah antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu?. Dengan ungkapan seperti ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud menolak Islamisasi ilmu, tapi selain membedakan antara ilmu sosal profetik dengan Islamisasi Ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu-ilmu Islam dan bukan Islam.
Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo (alm) didasarkan pada Surar Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah ummat terbaik yang diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.
Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen People), ummat Islam sebagai ummat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Ummat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena ummat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam percaturan sejarah. Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran ummat, terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, ummat, kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya3.
Pendidikan Islam yang sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional. Secara ideal, pendidikan Islam bertujuan melahirkan pribadi manusia seutuhnya. Dari itu, pendidikan Islam diarahkan untuk mengembangkan segenap potensi manusia seperti; fisik, akal, ruh dan hati4. Segenap potensi itu dioptimalkan untuk membangun kehidupan manusia yang meliputi aspek spiritual, intelektual, rasa sosial, imajinasi dan sebagainya. Rumusan ini merupakan acuan umum bagi pendidikan Islam, yang akhir tujuannya adalah pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas ke-khalifahan-nya dan terus memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa batas serta menyadari pula betapa urgentnya ketaatan kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Mengetahui dan Maha Segalanya. Dalam Surat Al-Baqarah disebutkan pada ayat: 269 yang artinya: ”Tidaklah berdzikir kecuali ulul albab”. Disini, ada proposional antara dzikir dan fikr dalam sebuah cita-cita pendidikan Islam. Artinya, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (S.S, Husein dan S.A, Ashraf: 1979).
Dalam mewujudkan cita-cita pendidikan Islam, muncul berbagai problematika dalam pendidikan Islam. Diantaranya krisis dalam pendidikan Islam karena muncul adanya Dikotomi epistemologi antara Ilmu agama (akhirat) dan ilmu umum (dunia), antara Ilmu modern barat dan Ilmu tradisional Islam. Selain itu, disebabkan pula oleh sistem pendidikan Islam yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan yang bersifat formal dan mengabaikan idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan. Indikasi tersebut cukup jelas, dengan terlihat munculnya dua tipologi pendidikan Islam yakni, Pendidikan Islam tradisional dan Pendidikan Islam modern.
Pada dasarnya tujuan umum pendidikan Islam, menurut Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi. Diantaranya yaitu; Pertama. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia5. Bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan. Keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu6. Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional.
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan mengandung pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.
Jika kegagalan pendidikan dalam rangka memaksimalkan peran profetiknya karena tidak dapat menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologis-filosofis. Jadi bukan sebagai objek pendidikan, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank7. Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada missi profetik, yaitu memanusiakan manusia (Humanisasi), berijtihad / pembebasan (liberasi), dan keimanan manusia (transendensi).
PENUTUP
Pendidikan pada hakekatnya merupakan pross memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah, sebagai mahkluk individu yang khas, dan sebagai mahluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan missi tersebut.
Kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan.
Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, jika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek pendidikan. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan metode atau strategi antara satu dengan lainnya, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang pendidikan itu sendiri.
Sumber : http://km3community.wordpress.com/2008/07/02/pendidikan-profeti-versi-kuntowijoyo/
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi, dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan ummat Islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis.
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (Syafi’i Ma’arif). Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.
Dari pendidikan Islam yang masih cenderung bersifat dikotomis yang selama ini terpisah secara diametral, yakni pendidikan yang hanya menekankan dimensi transendensi tanpa memberi ruang gerak pada aspek humanisasi dan liberasi dan pendidikan Islam yang hanya menekankan dimensi humanisasi dan liberasi dengan mengabaikan aspek transendensi. Dalam teori sosialnya Kuntowijoyo (alm) Ilmu Sosial Profetik.
PEMBAHASAN
Profetik berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi1. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan. Dan mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Dan tepat menurut Ali Syari’ati “para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan”.
Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu -dalam rumusan Kunto- seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada2. Dia mengatakan: “saya kira keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa kita terbelah antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu?. Dengan ungkapan seperti ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud menolak Islamisasi ilmu, tapi selain membedakan antara ilmu sosal profetik dengan Islamisasi Ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu-ilmu Islam dan bukan Islam.
Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo (alm) didasarkan pada Surar Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah ummat terbaik yang diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.
Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen People), ummat Islam sebagai ummat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Ummat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena ummat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam percaturan sejarah. Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran ummat, terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, ummat, kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya3.
Pendidikan Islam yang sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional. Secara ideal, pendidikan Islam bertujuan melahirkan pribadi manusia seutuhnya. Dari itu, pendidikan Islam diarahkan untuk mengembangkan segenap potensi manusia seperti; fisik, akal, ruh dan hati4. Segenap potensi itu dioptimalkan untuk membangun kehidupan manusia yang meliputi aspek spiritual, intelektual, rasa sosial, imajinasi dan sebagainya. Rumusan ini merupakan acuan umum bagi pendidikan Islam, yang akhir tujuannya adalah pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas ke-khalifahan-nya dan terus memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa batas serta menyadari pula betapa urgentnya ketaatan kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Mengetahui dan Maha Segalanya. Dalam Surat Al-Baqarah disebutkan pada ayat: 269 yang artinya: ”Tidaklah berdzikir kecuali ulul albab”. Disini, ada proposional antara dzikir dan fikr dalam sebuah cita-cita pendidikan Islam. Artinya, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (S.S, Husein dan S.A, Ashraf: 1979).
Dalam mewujudkan cita-cita pendidikan Islam, muncul berbagai problematika dalam pendidikan Islam. Diantaranya krisis dalam pendidikan Islam karena muncul adanya Dikotomi epistemologi antara Ilmu agama (akhirat) dan ilmu umum (dunia), antara Ilmu modern barat dan Ilmu tradisional Islam. Selain itu, disebabkan pula oleh sistem pendidikan Islam yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan yang bersifat formal dan mengabaikan idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan. Indikasi tersebut cukup jelas, dengan terlihat munculnya dua tipologi pendidikan Islam yakni, Pendidikan Islam tradisional dan Pendidikan Islam modern.
Pada dasarnya tujuan umum pendidikan Islam, menurut Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi. Diantaranya yaitu; Pertama. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia5. Bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan. Keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu6. Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional.
Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan mengandung pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.
Jika kegagalan pendidikan dalam rangka memaksimalkan peran profetiknya karena tidak dapat menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologis-filosofis. Jadi bukan sebagai objek pendidikan, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank7. Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada missi profetik, yaitu memanusiakan manusia (Humanisasi), berijtihad / pembebasan (liberasi), dan keimanan manusia (transendensi).
PENUTUP
Pendidikan pada hakekatnya merupakan pross memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah, sebagai mahkluk individu yang khas, dan sebagai mahluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan missi tersebut.
Kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan.
Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, jika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek pendidikan. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan metode atau strategi antara satu dengan lainnya, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang pendidikan itu sendiri.
Sumber : http://km3community.wordpress.com/2008/07/02/pendidikan-profeti-versi-kuntowijoyo/
BSE SOSIOLOGI SMA
Buku Sekolah Elektronik Sosiologi SMA, silakan download link dibawah ini :
http://docs.google.com/fileview?id=0ByPI3RzAUiBRMzQ1ZTMwYmEtN2E5OS00MmY0LTliN2EtOWEzMDU5NjUwZTZk&hl=en
http://docs.google.com/fileview?id=0ByPI3RzAUiBRYjVkYmM4ODgtZDg2MC00ZDk3LWJlYmYtZjJjYWY3MzkxZDdm&hl=en
http://docs.google.com/fileview?id=0ByPI3RzAUiBRMmVkNDZhYzctZWQ5Yy00YmQ4LWI4MWEtYTM0MDA5YTJmZmQ0&hl=en
http://docs.google.com/fileview?id=0ByPI3RzAUiBRMzQ1ZTMwYmEtN2E5OS00MmY0LTliN2EtOWEzMDU5NjUwZTZk&hl=en
http://docs.google.com/fileview?id=0ByPI3RzAUiBRYjVkYmM4ODgtZDg2MC00ZDk3LWJlYmYtZjJjYWY3MzkxZDdm&hl=en
http://docs.google.com/fileview?id=0ByPI3RzAUiBRMmVkNDZhYzctZWQ5Yy00YmQ4LWI4MWEtYTM0MDA5YTJmZmQ0&hl=en
Label:
MATERI PELAJARAN SOSIOLOGI
Link Situs Latihan Ujian Nasional SD, SMP dan SLTA
silakan kunjungi situs ini :
http://ujiannasional.org/
http://ujiannasional.org/
Selasa, Juli 13, 2010
Hati-hati penyalahgunaan kamera tersembunyi alias hidden camera
Hati-hati penyalahgunaan kamera tersembunyi alias hidden camera
Penemuan ataupun kemajuansuatu produk teknologi selalu saja melahirkan efek samping. Seperti kamera. Kalau dimanfaatkan untuk kebaikan memang banyak ragamnya: membuka tabir kejahatan, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kewenangan maupun kebohongan. Bahkan acara reality show di TV (entah serius reality atau yang bohong-bohongan) jamak menggunakan kamera secara tersembunyi. Bahkan untuk menguak praktek-praktek produksi suatu barang yang ilegal ataupun yang nggak sehat, seringkali jurnalisme investigasi memanfaatkan secara maksimum kamera tersembunyi agar dapat diperoleh data dan fakta yang akurat sehingga bisa diyakini pemirsanya.
Produk teknologi kamera sekarang ini sungguh-sungguh mengalami kemajuan sangat pesat. Yang dulu ukurannya besar-besar sekarang sudah nggak populer lagi, kamera kecil sangat banyak bertebaran, bahkan saking kecilnya (bisa lebih kecil dari kancing baju) wujud kamera ini sulit dikenali oleh orang lain, nyaris sempurna dalam penyamarannya. Selain fisiknya yang makin mengecil, ketajamannya juga makin mengagumkan, sehingga dalam kondisi agak gelap pun masih dapat berfungsi dengan baik. Harganya? Juga makin murah saja.
Perkembangan kamera yang demikian pesat tentu mempengaruhi pola pengguna dan penggunaannya, yang dulu selektif dan terbatas, sekarang meluas. Soal aturan penggunaannya? Ya relatif saja. Tetapi produk penggunaan dari kamera ini (hasil shooting-an) pelan tapi pasti sudah mulai bisa diterima sebagai bukti material dalam proses kasus hukum.
Semua perkembangan produk kamera postif? Ya, sebagian. Terus masalahnya? Memang bukan pada penggunaannya. Namun, pada PENYALAHGUNAANNYA! Produk teknologi ini makin sering disalahgunakan, atau juga digunakan secara salah. Untuk apa? Umumnya untuk keuntungan/kesenangan orang yang menyalahgunakan. Bisa juga untuk memuaskan si pelaku yang punya kelainan. Bahkan bisa untuk memperlakukan korban sebagai sapi perahan. Mempermalukan. Mengkomersialkan. Nah, yang rawan kalau pelaku memanfaatkan kamera ini pada wilayah privat. Sangat keterlaluan.
Jadi bagaimana menyikapinya? Berhati-hatilah dimana saja. Cermatlah dengan lingkungan dan situasi sekitar. Di wilayah publik ataupun wilayah privat. Siapa tahu kamar mandi anda sudah dipasangi hidden camera oleh manusia jahat ini? Tapi janganlah muncul ketakutan berlebihan, intinya waspada lebih baik, tapi nggak perlu paranoid.
Sekarang lihatlah kamera di komputer anda (desktop/laptop) kalau ada, siapa tahu kamera anda on dan saya bisa memantau anda? he he he … marilah kita semua berhati-hati ya dengan kamera-kamera usil, yang makin ganas mencari sasaran, apalagi diperparah dengan fakta hampir semua HP sekarang berkamera, sehingga makin banyak saja yang menyalahgunakan ….
sumber :http://www.gamexeon.com/forum/berita-lain-lain
Penemuan ataupun kemajuansuatu produk teknologi selalu saja melahirkan efek samping. Seperti kamera. Kalau dimanfaatkan untuk kebaikan memang banyak ragamnya: membuka tabir kejahatan, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kewenangan maupun kebohongan. Bahkan acara reality show di TV (entah serius reality atau yang bohong-bohongan) jamak menggunakan kamera secara tersembunyi. Bahkan untuk menguak praktek-praktek produksi suatu barang yang ilegal ataupun yang nggak sehat, seringkali jurnalisme investigasi memanfaatkan secara maksimum kamera tersembunyi agar dapat diperoleh data dan fakta yang akurat sehingga bisa diyakini pemirsanya.
Produk teknologi kamera sekarang ini sungguh-sungguh mengalami kemajuan sangat pesat. Yang dulu ukurannya besar-besar sekarang sudah nggak populer lagi, kamera kecil sangat banyak bertebaran, bahkan saking kecilnya (bisa lebih kecil dari kancing baju) wujud kamera ini sulit dikenali oleh orang lain, nyaris sempurna dalam penyamarannya. Selain fisiknya yang makin mengecil, ketajamannya juga makin mengagumkan, sehingga dalam kondisi agak gelap pun masih dapat berfungsi dengan baik. Harganya? Juga makin murah saja.
Perkembangan kamera yang demikian pesat tentu mempengaruhi pola pengguna dan penggunaannya, yang dulu selektif dan terbatas, sekarang meluas. Soal aturan penggunaannya? Ya relatif saja. Tetapi produk penggunaan dari kamera ini (hasil shooting-an) pelan tapi pasti sudah mulai bisa diterima sebagai bukti material dalam proses kasus hukum.
Semua perkembangan produk kamera postif? Ya, sebagian. Terus masalahnya? Memang bukan pada penggunaannya. Namun, pada PENYALAHGUNAANNYA! Produk teknologi ini makin sering disalahgunakan, atau juga digunakan secara salah. Untuk apa? Umumnya untuk keuntungan/kesenangan orang yang menyalahgunakan. Bisa juga untuk memuaskan si pelaku yang punya kelainan. Bahkan bisa untuk memperlakukan korban sebagai sapi perahan. Mempermalukan. Mengkomersialkan. Nah, yang rawan kalau pelaku memanfaatkan kamera ini pada wilayah privat. Sangat keterlaluan.
Jadi bagaimana menyikapinya? Berhati-hatilah dimana saja. Cermatlah dengan lingkungan dan situasi sekitar. Di wilayah publik ataupun wilayah privat. Siapa tahu kamar mandi anda sudah dipasangi hidden camera oleh manusia jahat ini? Tapi janganlah muncul ketakutan berlebihan, intinya waspada lebih baik, tapi nggak perlu paranoid.
Sekarang lihatlah kamera di komputer anda (desktop/laptop) kalau ada, siapa tahu kamera anda on dan saya bisa memantau anda? he he he … marilah kita semua berhati-hati ya dengan kamera-kamera usil, yang makin ganas mencari sasaran, apalagi diperparah dengan fakta hampir semua HP sekarang berkamera, sehingga makin banyak saja yang menyalahgunakan ….
sumber :http://www.gamexeon.com/forum/berita-lain-lain
Langganan:
Postingan (Atom)