Besar kemungkinan patriarki masuk ke Bali 2,500 tahun yang lalu. Interpretasi ini didasarkan hasil penelitian Prof. Ardika bahwa pada saat itu para pedagang asing sudah datang ke wilayah Nusantara, terbukti dari barang-barang peninggalan mereka. Interaksi budaya ini setidaknya memperkuat sistem kekerabatan patrilineal, yakni hubungan keturunan melalui garis kerabat pria saja. Jalan pikiran ini terungkap dari begitu dominannya unsur patriak, bapak dalam peradaban Bali zaman primitif.
Agama Hindu yang masuk ke Bali sekitar 1.200 tahun lalu berusaha mengikis patriarki dengan memperkenalkan ajaran memuliakan wanita. Ajaran ini dijabarkan melalui Mahabharata: ''di mana wanita tidak dihormati (kasus pelecehan seksual atas Drupadi), di situ muncul bencana''. Ditawarkan pula perkawinan matrilokal, yakni pengantin laki-laki menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istrinya. Tetapi patriarkisme ternyata terlalu tangguh, Hindu pun terseok.
Sekalipun demikian, Hindu berhasil menggerogoti partriarki. Pengakuan atas posisi wanita sebagai pendeta merupakan prestasi utama. Berubahnya jenis kelamin patrilineal Bali menjadi banci, artinya tidak murni laki-laki merupakan prestasi lain. Prestasi kedua ini dilakukan dengan mengenalkan konsep purusa.Secara harfiah, purusa berarti laki-laki; tetapi menurut Zoetmulder arti lainnya adalah pahlawan atau manusia ulung. Seorang wanita boleh dijadikan purusa (pahlawan) untuk menyelamatkan garis keturunan keluarga yang tak memiliki anak laki-laki. Dia dibolehkan mengajak suaminya menetap dalam lingkungan keluarganya, disebut nyeburin; dalam antropologi disebut uxorilokal.
Keberhasilan ini relatif kecil dibandingkan kegagalan Hindu membantai patriarki yang sudah menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan: hukum, politik, pelapisan sosial, lembaga-lembaga sosial, ekonomi, demografi, pendidikan, dan teknologi. Disaksikan zaman keemasan kerajaan-kerajaan Hindu, laki-laki dengan gagahnya memposisikan wanita secara umum lebih rendah ketimbang dirinya dalam segala lini kehidupan. Salah satunya, dalam menyalurkan kebutuhan biologis.
Untuk urusan ini, laki-laki mengatur dan mengontrol wanita sedemikian rupa.Mereka dipilah dua: triwangsa dan jaba; yang pertama sebagai penjaga gawang dan yang kedua pengembang sistem kekerabatan patrilineal ala Bali. Dulu, yang triwangsa hanya boleh menikahi saudara sepupunya, anak laki-laki dari saudara kandung ayahnya. Sedikit lebih maju, dia boleh menikahi orang luar, tetapi harus sederajat kasta. Sedangkan yang jaba bebas menikahi laki-laki triwangsa demi pertambahan populasi. Atas jasanya, mereka diberi gelar jro, yang artinya menurut Zoetmulder, orang luar yang dipekerjakan di dalam lingkungan keraton.
Tradisi ini berlangsung hingga sekarang: yang jaba ingin meraih gelar jro dan yang triwangsa untuk mencegah hilangnya wibawa leluhur. Fenomena kedua terungkap dalam rubrik jodoh surat kabar. Mengapa mereka terkungkung seperti itu, padahal larangan kawin antarkasta sudah dicabut tahun 1951. Siapa yang salah, apakah memang ada pihak-pihak yang tetap berusaha mengerdilkan mereka, tetapi untuk apa?
Teori penindasan struktural mungkin dapat membantu. Ritzer dan Goodman mengatakan penindasan struktural dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengambil manfaat langsung dari tindakan mengontrol, memanfaatkan, menundukkan, dan menindas kelompoknya. Tujuannya untuk mempertahankan dominasi kelompok laki-laki. Tindakan ini dilakukan melalui aransemen kekuasaan yang terus berulang dalam sejarah.
Mereka dapat dicari pada orang-orang (laki-laki maupun perempuan) yang punya kekuasaan politik, ekonomi, dan informasi pemberdayaan wanita, tetapi digunakan untuk urusan lain. Ciri lainnya, mereka menganggap persoalan wanita sudah selesai; istilah sekolahan tidak ada PR (pekerjaan rumah), jadi bisa tidur nyenyak. Padahal wanita masa kini ditumpuki berbagai masalah; dan yang paling serius adalah yang muncul dari efek sosial Keluarga Berencana (KB).
Orang-orang itu umumnya hanya melihat KB dari sudut pandang ekonomi: dengan dua anak kesejahteraan keluarga akan meningkat. Tidak pernah dihitung, sesudah kesejahteraan tercapai, maka kecerdasan dan wawasan akanmeningkat. Pergaulannya pun lebih kompleks, bukan lagi dengan laki-laki sekampung. Jadi, sudah terjadi perubahan struktural. Perubahan ini memerlukan sebuah kultur baru, yakni seperangkat nilai normatif (norma kultural) baru yang diorganisasi sedemikian rupa sebagai patokan dalam menentukan perilaku bersama sebagai anggota masyarakat Hindu yang hidup dalam lingkungan modern.
Menurut Merton, ketidaksesuaian antara norma kultural dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari suatu kelompok masyarakat akan melahirkan anomie. Dia adalah penyakit sosial yang sangat berbahaya bagi suatu masyarakat, sebab akan membuat orang tak mampu bertindak dengan nilai normatif yang disediakan untuknya. Anomie akan melahirkan kecenderungan ke perilaku menyimpang. Kalau dikaitkan dengan pencapaian kesuksesan ekonomi, penyimpangan itu bisa berupa: penggelapan uang, korupsi, menjual tubuh atau menggerogoti laki-laki kulit putih dengan pernikahan palsu. Hal ini sekarang bukan lagi fenomena, tetapi sudah merupakan kumpulan peristiwa.Pertanyaannya adalah apakah mungkin membebaskan wanita Bali dari belitan anomie?
Sekalipun anomie dapat ditanggulangi, namun efek samping program KB tetap ada. Masih ada pekerjaan rumah, terutama pada keluarga yang hanya memiliki anak gadis. Jika mereka dari keluarga kaya, mungkin masih ada jalan ke luar melalui perkawinan nyeburin, itu pun kalau calon suami setuju; tetapi bagaimana halnya dengan keluarga miskin. Sekalipun kaya, tetapi kalau ternyata calon suami kedua anak gadisnya berbeda agama, apakah sebaiknya kedua orangtua mengikuti agama menantunya.
Kalau itu pilihan terbaik, jangan salahkan agama lain jika suatu saat nanti terjadi konversi, perubahan agama secara massal. Anggaplah solusi itu tak terjadi, pertanyaan berikutnya, apakah para orangtua dalam kasus itu akanmerasa nyaman menikmati hari tuanya, sementara pikirannya diganggu oleh hari-hari kematian ketika tidak ada anak-cucu yang mengupacarainya secara Hindu. Mungkin ada yang menjawab, serahkan saja kepada keponakan, tetapi suatu saat nanti jumlah keponakan akan semakin sedikit, seiring semakin mengecilnya jumlah anggota keluarga.
Mereka yang punya anak serasi: satu perempuan, satu laki-laki juga masih punya pekerjaan rumah. Jika anak yang laki meninggal dunia dalam usia muda, lalu anak yang gadis kecantol dengan laki-laki beda agama, bagaimana penyelesaiannya. Jalan alternatif yang kiranya perlu dipertimbangkan adalah memperluas dan menyempurnakan aturan kawin nyeburin. Mengingat kompleksnya tantangan masa kini, tradisi ini mestinya juga diberlakukan bagi keluarga lengkap (laki-laki-perempuan). Semasih seorang wanita menikah sah secara Hindu dan memiliki kekuatan hukum (akte perkawinan), hendaknya mereka diberikan kebebasan memilih: apakah mengikuti kekerabatan suami; tetap bergabung dengan kekerabatan keluarga sendiri; atau sekaligus keduanya.Pilihannya tentu didasarkan atas kondisi sosial ekonomi keluarga masing-masing.
Mungkin sudah ada satu-dua keluarga yang memakai jalan ini. Kalau demikian, kini tinggal menjadikannya sebagai perilaku kolektif, supaya menjadi semacam politik identitas Bali dalam menghadapi tantangan baru. Demi amannya, jika terjadi perceraian atau perubahan agama, kiranya di awal pernikahan mereka disuruh menandatangani surat perjanjian yang dipetik dari hukum adat kawin nyeburin versi baru, yang diupayakan sudah memiliki kekuatan hukum formal. Solusi ini tentu akan merembet pada pembagian warisan. Masalah ini mungkin bisa diatasi dengan mengacu pada konsep pewarisan zaman dulu: ategen-asuwun, dua banding satu untuk anak laki-laki dan perempuan.
Tradisi adiluhung ini meredup di zaman Belanda dan nyaris hilang di zaman sekarang. Kalau memang betul-betul ingin mengajegkan Bali, mengapa dia tidak dihidupkan kembali; apalagi dalam wujudnya yang baru dia bisa menjadi ategen-ategen, satu banding satu. Dengan demikian, ajaran Hindu tidak berhenti hanya sampai pada sebuah dharwa wacana dan perjuangan Hindu mendobrak patriarki pun terwujud. Untuk mencegah efek sosial negatifnya di kemudian hari, tentu harus dirundingkan secara terpadu bentuk keseimbangan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam menangani persoalan ritual, upacara. Idealnya, ritualnya dibuat sesederhana mungkin asalkan masih menunjukkan identitas kehinduan, agar tidak menjadi beban material dan kejiwaan bagi kedua belah pihak.
Nyoman Wijaya,
Sejarawan, dosen ilmu sejarah di Unud, sedang sekolah S3 di UGM
SUMBER : http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/12/17/bd1.htm
Kamis, April 01, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar