Jumat, Oktober 08, 2010

Turn-around pedagogy

Games" Pembelajaran
Oleh GIN GIN GUSTINE
UNTUK urusan pergaulan di dunia maya melalui situs jejaring sosial Facebook, Indonesia temy-ata menempati urutan ketiga pengguna terbanyak di dunia (Pikiran Rakyat, 2/9/10). Jumlahnya hanya berbanding tipis dengan negara adidaya Amerika Serikat dan Inggris, alias bangsa yang cukup "gaul" di dunia maya. Prestasi yang membanggakan sekaligus mencengangkan. Membanggakan karena negara yang konon 31 juta penduduknya berada di bawah garis kemiskinan, temyata memiliki aset penduduk yang melek digital (digital literate), sungguh modal besar yang sebenarnya bisa dimanfaatkan.
Namun, untuk urusan "bergengsi" seperti human development index, tingkat kemampuan membaca dan matematika negara kita tidak pernah muncul di urutan ketiga terbesar dunia. Mencengangkan karena fakta ini belum menjawab kegelisahan tentang kenapa dari jumlah pengguna Facebook yang besar ini (27 juta facebookers di Indonesia), yang di antaranya melek teknologi, seperti tidak berhubungan dengan tingkat kemajuan negaranya.
Barangkali sebagian orang tua dan pendidik khawatir jika anak-anak mereka berasyik masyuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain games online atau untuk eksis di dunia maya melalui Facebook. Di mana pun berada, jari jemari mereka seperti tidak pernah lepas dari keyboard telefon selulernya agar bisa terus mengetuk pintu-pintu virtual, berbagi cerita dan komentar. Apakah kita harus menyalahkan Facebook dan games yang telah begitu menyita perhatian anak-anak kita? Tentu tidak.Teknologi selalu memiliki dua sisi yang berlawanan, dan bukan pilihan yang bijak untuk terus-menerus melihat teknologi dari sisi negatifnya.
Mari sejenak kita putar balikan perspektif kita tentang pembelajaran atau turn-around pedagogy, sistem pendidikan yang berpihak kepada siswa dan lazim di dunia pendidikan Barat masa kini, dan mulai belajar dari Facebook dan games, sumber pengetahuan murid yang begitu powerful yang mereka raih di luar kelas. Jika pendidik atau orang tua merasa merekalah sumber pengetahuan siswa, dalam perspektif turn-around pedagogy, justru pengetahuan siswalah yang harus kita akomodasi ke dalam kelas. Pengetahuan yang siswa peroleh di luar kelas merupakan sumber pembelajaran yang sangat berguna.
Hakikat Facebook adalah berbagi. Para/acebooters senang bertamu ke tetangga virtualnya untuk sekadar mencari tahu apa yang teijadi kemudian saling mengomentari, dan interaksi yang menyenangkan pun terjadi hingga sering membuat lupa waktu dan tempat Dunia nyata tampak tidak semeriah dunia maya yang mereka huni Umumnya, para facebookers ini juga adalah orang-orang yang melek teknologi digital lainnya pengguna Twitter, MySpace, Koprol, atau para penulis blog. Tantangan bagi para pendidik adalah bagaimana kita bisa menciptakan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk saling berbagi, saling berinteraksi, menyenangkan, dan dekat dengan dunia mereka.
Saya pernah mendengar keluhan kolega saya tentang siswanya yang selalu terlihat kesulitan dan kering ide ketika mereka diminta menulis di dalam kelas dengan media kertas dan bolpoin. Akan tetapi di luar kelas, anak-anak ini adalah penulis blog yang cukup aktif, menulis cerita, kritik sosial dan puisi yang kara imajinasi di dinding Facebook-nya. Apa yang salah?
Jika Anda tahu, siswa Anda adalah/aceboofcers dan bloggers sejati, sudah saatnya memanfaatkan media tersebut di kelas. Media blog bisa dijadikan alternatif untuk pembelajaran ketika siswa bisa saling memperlihatkan pekerjaan mereka, berbagi, dan berinteraksi dengan siswa dan gurunya.
Pilihan lainnya untuk diskusi interaktif dan online bisa melalui situs gratis www.nicenet.org, di sini guru bisa menciptakan kelas virtual dengan murid-muridnya. Murid juga bisa berinteraksi dengan penulis lain dengan menciptakan "grup" di akun Face-book. Hal-hal ini sangat dekat dengan kehidupan mereka, daripada meminta mereka menulis tentang topik-topik "jadul" yang tidak berhubungan dengan dunia kekinian mereka.
Cara kerja Facebook yang interaktif, online, dan menyenangkan juga ada dalam games (termasuk games online). Salah satu faktor yang membuat gamers ini tahan berjam-jam adalah mereka bisa mengatur tingkat kesulitan permainan dengan kemampuan mereka. Alih-alih merasa berdosa dan kecewa, biasanya gamers menanti untuk bisa mencapai level tersulit. Bayangkan efek apa akan terjadi jika kita bisa merancang pembelajaran seperti ini. Apakah kita cukup fleksibel dalam mengatur tingkat kesulitan belajar dengan kemampuan siswa sehingga mereka senang belajar dan percaya diri dengan kemampuannya? Imajinasi dan kreativitas sudah menjadi budaya belajar di negara-negara Barat. Untuk memperluas cakrawala sara mengenai pembelajaran di negara maju, selama menjadi mahasiswi program doktor di Australia, saya juga mengajar di beberapa jenjang pendidikan di sana, terakhir saya tercatat sebagai salah seorang staf akademik temporer untuk program bahasa Indonesia di Deakin University. Di sekolah dasar tempat saya mengajar, murid kelas III belajar tentang membaca dan menulis setiap hari selama 45 menit. Kegiatan yang selalu ditunggu murid ini dirancang dengan asyik. Mereka bisa memilih untuk membaca saja dan mendiskusikan bacaannya dengan teman atau guru atau menulis cerita melalui komputer yang disambungkan ke smartboard (papan tulis touch screen digital yang tersambung dengan internet) sehingga seluruh kelas bisa langsung berinteraksi dan mengomentari.
Kemampuan anak kelas in menulis sungguh membuat saya terpesona. Mereka menulis dengan tingkat kreativitas dan imajinasi sangat tinggi. Komentar teman dan gurunya selalu positif dan suportif, membuat mereka merasa dihargai sebagai penulis. Dalam 45 menit mereka telah berubah menjadi penulis andal yang mampu merespon pertanyaan "/ans"-nya dengan baik lalu memublikasikannya melalui blog mereka atau forum online kelas. Membaca pekerjaan anak-anak SD ini, saya jadi ingat buku atau film yang laku keras di hampir seluruh belahan dunia tentang cerita-cerita "aneh" yang mengesampingkan nalar. Misalnya percintaan yang absurd antara manusia dan vampir dalam serial Twilight". Bukan tidak mungkin ide-ide ini lahir sebagai akumulasi dari pendidikan yang mengedepankan imajinasi dan kreativitas. Dua hal yang juga bisa kita temukan di Facebook dan games.
Sistem games rang interaktif, menantang, kompetitif, serta menyediakan pilihan untuk berbagai kemampuan pemainnya diadopsi cukup sempurna oleh salah satu situs Matematika berbayar yang dipergunakan di sekolah dasar Australia. Situs www.mathletics.com.au ini membuat pembelajaran Matematika menjadi sangat menyenangkan bagi penggunanya. Mereka bisa berkompetisi dengan pemain lainnya di seluruh dunia secara online, termasuk dengan pelajar dari negara tetangga kita, Singapura, dan memilih konten yang sesuai dengan kemampuan mereka. Situs ini meniru gaya games dalam berbagai hal seperti awards yang disediakan, posisi antarpemain, bahkan juga bisa di-pause dan di-saue untuk kemudian kembali lagi ketika "pemain" telah siap tempur.
Jika orang Indonesia bisa menciptakan situs jejaring sosial bernama Koprol, bukan mustahil jika kita juga bisa menciptakan situs pembelajaran yang menarik, interaktif, online, dan menyenangkan penggunanya dengan biaya sesuai dengan daya beli rakyat Indonesia.***
Penulis, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, kandidat doktor dalam bidang "digital literacy" di Deakin University, Australia.
Sumber : http://bataviase.co.id/node/396348

Tidak ada komentar:

Posting Komentar