Pendidikan ku , oh pendidikanku..
Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti (http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY=. Hal tersebut perlu kita cermati, karena di era globalisasi ini, tingkat pendidikan warga masyarakat sangatkat berperan dalam menentukan persaingan dengan Negara-negara lain. Pada kenyataaanya seiring dengan pemililu, presiden ganti, mentri ganti begitu pula kurikulum pendidikan juga ikut ganti.Tentunyan perubahan kurikulum tersebut mengandung makna suatu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.Namun pada kenyataannya( yang di lapangan ) menangkap sinyal bahwa dengan pergantian kurikulum yang tidak dilengkapi dengan infra struktur/pelengkap penunjang kurikulum yang memadahi hanya akan mengakibatkan hsil pendidikan yang dihasilkan tidak dapat mencapai puncak. Semisal dengn kurikulum KTSP dengan system penilaiannya yang mencakup tiga aspek yaitu kognitif, psykomotor dan afektif , telah menandakan keseriusan pemerintah untuk merengkuh tiga aspek tersebut dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya aspek yang pertamalah yang menjadi target utama, sedangkat aspek psykomotor dan afektif hanya sebagai pelengkap.
Realita di dunia pendidikan pencapaian nilai kognitif “lebih banyak”mengabaikan aspek yang lain.Terkadang seorang tenaga pendidik digiring untuk lebih mengutamakan pencapaian nilai kognitif tersebut. Para guru seolah tiada berdaya dalam menghadapi fenomena pendidikan ini, guru yang obyektif dalam memberikan nilai siswa, sering berbenturan dengan “system”. Coba perhatikan beberapa hal dibawah ini:
….pak kalau memberikan nilai pada siswa jangan pelit-pelit.
….pak kalau ngawasi ujian jangan ketat-ketat.
….kalau banyak siswa yang gak lulus, sekolah kita kedepan gak dapat murid
….pak anak kami tolong dibantu nilai rapornya agar bias diterima di sekolah tinggi bermutu.
Tentunya masih banyak pernyataan-pernyataan lain di lapangan.
Pada diri siswa tidak ditekankan bahwa kompetisi yang sehat, obyektif dan jujur, hal itu sangat penting dalam menghadapi era globalisasi ini.Bila ini terus dipertahankan , kita akan menghasilkan generasi yang lemah. Akibatnya Negara Indonesia akan berada dalam papan bawah percaturan dunia Internasional.
Sedang kan upaya untuk lebih meningkatkan kualitas peserta didik dalam aspek psykomotor dan afektif menjadi prioritas yang ke dua dank e tiga, sesuai dengan urutan penulisan dirapor.Sehingga daya upaya sekolah lebih difokuskan bagaimana nilai-nilai/angka kognitif dapat maksimal.Celakanya praktek-praktek yang tidak mendidik sering dilakukan untuk mencapai hal tersebut.Dengan kata lain “ sing penting bocah pinter, masalah akhlak iku nomer loro”.( Yang penting kognitif siswa pandai, masalah akhlak itu urutan ke dua ).
Idealnya, semua pihak harus dapat berbuat dengan adil, jujur, obyektif dalam melaksanakan system pendidikan dan menerima hasil pendidikan .Orang tua siswa pun harus siap menerima manakala anaknya tidak naik kelas, tidak lulus atau dikembalikan ke orang tua.Tampaknya kita perlu menumbuhkan sikap mental yang sehat dalam manghadapi kenyataan obyektifitas pendidikan
Upaya untuk meluruskan “benang ruwet” diatas tidaklah mudah karena tampaknya telah menjadi “konsep yang mengakar” di masyarakat.Kita tidak boleh menyerah untuk bersama-sama memperbaiki system pendidikan
Sabtu, Mei 02, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar